Pemberontakan Kepala Daerah dan Berdirinya Pemerintahan Revolusioner RI

Gerakan ini bukan untuk menuntut pembentukan negara baru, maupun pemberontakan, tetapi menginginkan otonomi daerah.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 15 Feb 2019, 07:35 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2019, 07:35 WIB
Kolonel Ahmad Husein
Kolonel Ahmad Husein (Foto: Wikipedia)

Liputan6.com, Jakarta - Tepat 15 Februari 1958, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein.

Dalam catatan Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com, deklarasi itu juga mengumumkan kabinet tandingan dengan menempatkan nama Syafruddin Prawiranegara di posisi tertinggi sebagai perdana menteri. PRRI dideklarasikan di Bukittinggi, tempat yang sama saat Pemerintah Darurat RI (PDRI) dibentuk 10 tahun sebelumnya.

PRRI adalah gerakan pertentangan antara pemerintah pusat dan daerah. Gerakan menentang pemerintah pusat ini terus meluas, dua hari setelah deklarasi, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah menyatakan dukungannya terhadap PRRI.

Ultimatum tersebut bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi menginginkan otonomi daerah.

Kondisi inilah yang memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah karena berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.

Deklarasi PRRI ini beriringan dengan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Indonesia timur, mereka juga kecewa terhadap pemerintahan RI. Saat itu pemerintah masih belum stabil pasca-agresi Belanda.

Syafruddin Prawiranegara yang telah penyerahan kedaulatan RI kepada Presiden Soekarno dan sempat menjabat sebagai menteri keuangan kemudian Gubernur Bank Indonesia pertama, memegang peranan sentral dalam manuver ini.

Syafruddin sebelumnya mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk menjadi Ketua Pemerintah darurat RI (PDRI) ketika pemerintahan Republik Indonesia yang kala itu beribukota di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda akibat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948. Ketua PDRI ini bisa disebut setingkat presiden. Kala itu, para petinggi pemerintahan RI seperti Sukarno, Mohammad Hatta, atau Sutan Sjahrir ditahan Belanda.

"Dengan kesedihan dan kesusahan yang mendalam, kita terpaksa mengibarkan bendera menentang Kepala Negara kita sendiri. Kita telah bicara dan bicara. Sekarang tiba saatnya untuk bertindak!" seru Syafruddin Prawiranegara dalam pidatonya, seperti dikutip dari buku Bung Karno Menggugat (2006) karya Baskara T. Wardaya.

Bibit konflik tersebut mulai terjadi sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatera Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau yang kala itu masih mencakup wilayah Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Awal Mula Gerakan PRRI

Gerakan ini bermula dari acara reuni Divisi Banteng di Padang pada tanggal 20-25 November 1956. Divisi Banteng adalah suatu komando militer yang dibentuk pada masa perang kemerdekaan (1945-1950) di Sumatera Tengah yang wilayah operasinya meliputi empat provinsi sekarang, yaitu Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau.

Dari pertemuan tersebut di hasilkan perlunya otonomi daerah agar bisa menggali potensi dan kekayaan daerah dan disetujui pula pembetukan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein komandan resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang. Namun upaya ini gagal.

Pada tanggal 20 Desember 1956. Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dalihnya gubernur yang ditunjuk Pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan daerah. Di samping itu di berbagai daerah muncul pula dewan-dewan lain yakni :

1. Dewan Gajah di Sumatra Utara pimpinan Kolonel Maludin Simbolon

2. Dewan Garuda di Sumatra Selatan pimpinan Letkol R. Barlian

3. Dewan Maguni di Sulawesi Utara pimpinan Letkol Ventje Sumual.

Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, pemerintah pusat mengadakan musyawarah nasional pada September tahun 1957. Kemudian Musyawarah Nasional Pembangunan pada November 1957 yang bertujuan mempersiapkan pembangunan di daerah secara integral. Namun tetap saja gagal bahkan semakin memanas.

Selanjutnya diadakan rapat raksasa di Padang. Letkol Ahmad Husein sebagai pimpinan mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dengan waktu 5 X 24 jam dan Presiden diminta kembali kepada kedudukan konstitusionalnya.

Ultimatum ini ditolak oleh Pemerintah Pusat, bahkan Ahmad Husein dan kawan-kawannya dipecat dari Angkatan Darat. Pada tanggal 15 Februari 1958 Letkol Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Padang. Pemerintah tersebut membuat Kabinet dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya.


Diberagus

Apapun, pertentangan ini dianggap pemberontakan oleh pemerintah pusat. Deklarasi dan ultimatum itu dianggap sebagai proklamasi pemerintah tandingan. Kondisi ini disikapi frontal oleh Presiden Soekarno dan kemudian ditumpas dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia.

Serangkaian operasi militer pun dikerahkan, termasuk pasukan yang dipimpin Ahmad Yani dan Ibnu Sutowo, untuk membasmi PRRI/Permesta.

Bulan Mei 1961, gerakan yang disebut pemberontakan itu akhirnya tumpas. Para pemimpinnya ditangkap atau menyerahkan diri. 

Tak hanya menumpas PRRI, Sukarno kala itu juga membubarkan Partai Masyumi. Partai politik berhaluan kanan ini diberangus karena dituding terlibat PRRI, dan Syafruddin Prawiranegara merupakan salah satu petingginya. Namun, Presiden Sukarno memutuskan untuk mengampuni mereka, termasuk Syafruddin Prawiranegara.

Peristiwa ini menyebabkan eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain. Menurut catatan Dr. Mochtar Naim dalam bukunya, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984), sebelum terjadinya peristiwa PRRI, jumlah orang Minang di Jakarta diperkirakan kurang dari seratus ribu orang, namun setelah peristiwa tersebut, jumlahnya meningkat menjadi beberapa ratus ribu.

Bahkan menurut perkiraan Gubernur Jakarta pada tahun 1971 sudah terdapat sekitar setengah juta orang Minang di Jakarta.

Selain itu juga menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma pemberontak.

Padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih menentang kolonial serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis yang penting selama masa prakemerdekaan.

Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya