Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melayangkan surat pencegahan ke luar negeri terhadap dua orang terkait kasus suap PLTU Riau-1. Mereka adalah pemilik Borneo Lumbung Energi dan Metal, Samin Tan; dan Direktur PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Nenie Afwani.
Keduanya dilarang bepergian ke luar negeri terhitung selama 6 bulan ke depan sejak 14 Maret 2019 sampai dengan 14 September 2019.
"Hal ini dilakukan agar ketika tersangka atau saksi dipanggil tidak sedang berada di luar negeri," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Selasa (26/3/2019).
Advertisement
Samin Tan juga pernah dicegah ke luar negeri oleh KPK selama enam bulan sejak 14 September 2018 sampai dengan 14 Maret 2019. Pencegahan tersebut berkaitan dengan penyidikan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.
Samin Tan sendiri sudah dijerat sebagai tersangka dalam kasus ini. Kemarin, Senin 25 Maret 2019, penyidik menjadwalkan pemeriksaan perdana terhadap Samin Tan sebagai tersangka. Namun, Samin Tan tak memenuhi panggilan penyidik.
"Kami ingatkan, agar tersangka SMT (Samin Tan) memenuhi penjadwalan ulang yang akan dilakukan pada Kamis ini, 28 Maret 2019," kata Febri.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sangkaan
Sebelumnya, KPK menetapkan pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (BLEM), Samin Tan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1. Samin Tan diduga menyuap anggota DPR Komisi VII Eni Maulani Saragih.
Samin Tan diduga memberikan suap Rp 5 miliar kepada Eni. Uang tersebut diberikan terkait Pengurusan Terminasi Kontrak Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubata (PKP2B) PT AKT Kementerian ESDM.
Terkait kasus ini, Samin Tan disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kasus ini, KPK telah menjerat tiga tersangka lainnya. Mereka adalah Eni Maulani Saragih, mantan Sekjen Golkar Idrus Marham, dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.
Advertisement