Mantan Ketua LPSK Minta RUU Perampasan Aset Segera Disahkan

Mantan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai meminta Presiden terpilih Pemilu 2019 memperhatikan RUU Perampasan Aset.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Mei 2019, 06:01 WIB
Diterbitkan 06 Mei 2019, 06:01 WIB
Pansus Hak Angket KPK Panggil LPSK
Mantan Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai menyampaikan keterangan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pansus Hak Angket KPK di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (28/8). Pansus mendalami aturan perlindungan saksi yang dilakukan KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai meminta Presiden terpilih Pemilu 2019 memperhatikan Rancangan Undang-Undang (UU) Perampasan Aset. Sebab, kata dia, RUU tersebut sampai saat ini belum disahkan oleh DPR dan pemerintah.

"Dalam kasus korupsi kan ada UU Perampasan Aset yang rancangannya sudah dibuat dari beberapa tahun lalu, tapi sampai sekarang belum disahkan," kata Abdul Haris di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (5/5/2019).

Dia menilai, pengesahan RUU ini sangat penting. Keberadaan RUU Perampasan Aset bisa membuat lembaga penegak hukum melakukan perampasan tanpa harus menunggu peradilan selesai.

"Karena melalui UU Perampasan Aset itu aset-aset dari koruptor itu bisa dirampas tanpa harus menunggu proses peradilan dan bisa digunakan untuk kepentingan publik," ujar Abdul Haris.

Presiden, lanjut dia, harus memiliki komitmen untuk memperkuat proses pemberantasan korupsi. Salah satunya dengan ikut andil melalui pengesahan RUU Perampasan Aset.

"Presiden bisa masuk dalam hal penguatan peraturan yang akan memperkuat proses penegakan hukum itu sendiri," ucap dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Masih Ada Perdebatan

Berkas Dokumen Arsip File
Ilustrasi Foto Berkas atau Dokumen. (iStockphoto)

Dua tahun lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset atau Asset Recovery, telah diserahkan kepada Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly untuk ditindaklanjuti. Akan tetapi, pada perjalanannya masih ada perdebatan mengenai RUU tersebut.

Kepala PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, pihaknya sudah menandatangani draf RUU tersebut. Selanjutnya telah diserahkan kepada Menkumham. Dengan demikian, ia belum dapat memastikan kapan RUU tersebut dapat diundangkan dan diimplementasikan.

"Belum tahu kapan RUU Asset Recovery. Kami sudah paraf dan menyampaikannya ke Menkumham. Amanat Presiden (Ampres) juga belum, karena itu kan dari Menkumham ke Presiden. Mudah-mudahan tahun ini lah," Kiagus menjelaskan saat berbincang dengan Liputan6.com di kantornya, Jakarta, Rabu 8 Maret 2017.

Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan itu mengaku masih ada perdebatan terkait pengelolaan aset hasil korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang masuk dalam RUU Perampasan Aset.

"Kami memberi pendapat asetnya ini biar menjadi tugas Ditjen Kekayaan Negara Kemenkeu. Tapi menurut Kejaksaan, mereka harus melaksanakan suatu keputusan pengadilan. Jadi masih ada perdebatan. Tidak tahu apakah harus diskusi ulang karena poin penting di RUU ini siapa yang mengurus aset," tegas Kiagus.

Sebelumnya, Wakil Kepala PPATK, Agus Santoso, menjelaskan bahwa dengan adanya RUU Perampasan Aset, apabila terjadi pertambahan kekayaan oleh penyelenggara negara yang tidak wajar dan tidak bisa dibuktikan berasal dari kegiatan yang sah, bisa disita untuk negara.

"Kalau usulan RUU ini bisa diterima, kami yakin kita bisa wujudkan RI yang bersih, adil, dan makmur," ujar Agus.

 

Reporter: Sania Mashabi

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya