Liputan6.com, Jakarta Untuk pertama kalinya, Banyuwangi menggelar Festival Film. Sineas Mira Lesmana mengapresiasi Banyuwangi yang telah menggelar festival film sebagai bagian dari agenda Banyuwangi Festival 2019.
“Bahwa Banyuwangi telah menempatkan film sebagai sesuatu yang penting dan difestivalkan, itu adalah sebuah langkah yang luar biasa. Semua kota di dunia yang boleh dibilang ada di garda depan dan maju, pasti memiliki festival film. Dan kini, Banyuwangi sudah ada di peta tersebut dengan mengangkat film sebagai bagian dari kultur dan sesuatu yang harus diperkenalkan oleh Banyuwangi,” ujar Mira saat menghadiri festival film dan video kreatif desa di Banyuwangi, Selasa (9/7/2019).
Baca Juga
Meski baru pertama dilaksanakan, sebanyak 30 karya seniman film muda turut meramaikan festival film pendek tersebut dengan mengangkat tema besar Majestic Banyuwangi. Karya yang dikirim para peserta tersebut banyak mengangkat tentang kehidupan dan tradisi lokal warga Banyuwangi. Dan hal ini mendapat apresiasi dari Mira Lesmana.
Advertisement
Menurut Mira, para sineas muda hendaknya mengangkat ide cerita dari lokal, yang ada di lingkungan sekitarnya. Karena dengan ini akan menghasilkan keunikan dan karya yang berbeda dengan sineas lainnya.
“Tentang mengangkat kultur lokal, tidak masalah. Justru cerita bagus itu yang unik dan semakin lokal. Bahkan film yang mendunia, dan bisa dihargai di banyak tempat, datangnya dari Meksiko, Prancis. Film tidak melulu hanya untuk sisi komersial tetapi punya perannya di tempat-tempat yang lain dan tetap bisa sukses,” ungkap istri aktor Mathias Muchus ini.
Salah satu peserta yang mendapat penilaian dari Mira adalah film Jaler (lelaki-red), karya Lutfi Masduki yang tergabung dalam tim Qmen Crew. Film yang memenangkan festival ini, mengisahkan tentang keresahan Ghani, seorang remaja pria yang tumbuh menjadi pribadi feminin setelah ibunya meninggal. Konflik muncul ketika paman Ghani, melihat dia sering belajar menjadi pemain Gandrung. Ternyata sisi femininnya muncul karena roh ibundanya yang merasuki dirinya. Semasa hidupnya, ibunda Ghani adalah penari Gandrung.
“Temanya sangat menarik, paling unik, dan kuat. Ini kan sesuatu yang jarang dibicarakan. Emosinya di film itu juga dapet,” terang Mira.
Sementara itu, Lutfi Masduki menngungkapkan ide pembuatan film ini berawal dari kisah penari pria Gandrung Marsan. Lutfi mengaku resah banyak masyarakat yang menganggap tabu seorang pria menjadi Gandrung. “Saya ingin membuka mata masyarakat bahwa dulu Gandrung itu awalnya ditarikan oleh seorang pria, bukan perempuan. Dan Marsan adalah penari Gandrung pria terakhir, yang kemudian kini Gandrung dimainkan oleh penari perempuan,” kata Lutfi.
Lutfi sendiri mengaku senang dengan digelarnya festival film di kota kelahirannya ini. Menurutnya, festival ini menjadi wadah bagi dia dan pembuat film pemula untuk mengekspresikan karyanya.
“Sangking senangnya waktu ada pengumuman festival film, saya langsung kontak semua teman untuk membuat film pendek. Kami ber-15 pembuat film ini hanya mengeluarkan Rp250 ribu untuk membuat Jaler. Semua tidak ada yang dibayar, hanya bermodalkan semangat, yang penting setor karya kami di festival ini. Kami hanya ingin menjukkkan, bahwa anak daerah juga bisa membuat film,” kata Lutfi.
Dikatakan Lutfi, festival ini akan memacu sineas pemula kota untuk terus berkarya. Karena tidak semua daerah menggelar festival film.
“Banyak teman dari daerah lain iri Banyuwangi mulai menggelar festival film. Festival ini benar-benar jalan bagi kami untuk menampilkan karya kami dan dikuratori dengan baik sehingga memacu kami untuk terus berkarya,” kata Lutfi.
Selain festival film, bersamaan dengan acara itu digelar lomba video kreatif desa, dimana setiap desa membuat video promosi tentang desanya.
“Secara tidak langsung, ini mengedukasi desa untuk melakukan marketing desanya. Mereka secara tak langsung kami paksa untuk berpikir kreatif untuk mempromosikan potensinya yang menonjol dalam sebuah video kreatif tentang desanya," kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Secara khusus terkait festival film, Anas mengapresiasi karya-karya yang telah masuk. Bahkan ada karya buatan anak SMKN Tegalsari, Banyuwangi yang bercerita tentang kegigihan seorang pelajar untuk menyelesaikan SMA-nya di tengah kendala yang ada.
“Festival film ini tidak hanya sekedar untuk promosi pariwisata, namun ini juga jalan bagaimana sineas-sineas muda bisa tumbuh dan menghasilkan karya film yang mumpuni,” pungkas Anas.
(*)