Liputan6.com, Jakarta - Menko Polhukam Wiranto bersama Menteri Koordinator Pembangunan Manusia, Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani, Menteri Sosial RI Agus Gumiwang Kartasasmita, Menko Perekonomian Darmin Nasution, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya serta lembaga lain menggelar rapat koordinasi khusus (Rakorsus) terkait kebakaran hutan di Indonesia.
Kurang lebih dua jam mereka menggelar rapat. Menko Wiranto menjelaskan, titik api tahun ini lebih besar dibandingkan dengan tahun lalu dan bulan lalu.
"Saat ini, pada tahun yang sama ternyata titik api itu lebih besar dari tahun lalu pada bulan yang sama," kata Wiranto usai rapat, Rabu 21 Agustus 2019.
Advertisement
Terdapat enam provinsi yang mengalami kebakaran hutan. Dari sebagian besar presentasi, penyebabnya karena ulah manusia, 99 persen ulah manusia dan 1 persen alam. Contohnya, warga membuka lahan dengan membakar hutan untuk bercocok tanam.
Wiranto mengatakan, perusahaan juga terlibat dalam pembakaran hutan. Ada 37 perusahaan dalam status diperingati dan lima sudah masuk dalam pengadilan.
"Korporasi sudah 37 yang diperingati, sudah masuk pengadilan 5 tapi kalau dari perorangan lebih banyak lagi, tapi perorangan ini ringan, jadi efek jera tidak efektif," kata Wiranto.
Penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan atau lahan menurut dia masih dianggap kurang keras dan tegas. Pemerintah, kata dia akan mengajak elemen masyarakat untuk membantu melakukan pengawasan dan penanggulangan kebakaran hutan.
Wiranto menyebut, pemerintah juga akan mengaktifkan pasukan kebakaran hutan dari Pemda, TNI, dan Polri.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Strategi
Wiranto menyatakan, pemerintah juga telah menyiapkan strategi baik dari kesiapan prosedur, pasukan pemadam, dan prasarana pemadaman api.
Salah satunya adalah water bombing. Saat ini sudah ada 37 armada helikopter untuk melakukan water bombing.
Tidak hanya itu pemerintah pusat pun mengimbau pemerintah daerah untuk lebih aktif dalam upaya penanggulangan kebakaran hutan. Presiden Joko Widodo sebelumnya sudah menyampaikan pemerintah daerah juga harus berperan aktif.
Beberapa kementerian seperti kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan pun sudah membangun posko-posko untuk membantu proses penanganan dampak kebakaran kepada masyarakat.
Wiranto mengklaim hingga saat ini belum ada protes dari negara tetangga terkait dampak kebarakan hutan. Dia berharap, agar tidak ada protes dari negara lain. Sebab jika sudah menjadi perbincangan internasional, Indonesia dianggap tidak bisa menangani kebakaran hutan.
"Kalau ada kebakaran menjadi perhatian dunia. Kita menjadi bahan pembicaraan internasional, bahwa seakan tak bisa menjaga paru-paru dunia itu. Oleh karena itu, ini tugas yang cukup berat. Tetapi mulia yang harus dilaksanakan," ungkap Wiranto.
Sementara berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ( KLHK) sepanjang Januari 2019 hingga Juli 2019, ada 135.747 hektare hutan dan lahan yang terbakar. Hasil tersebut berdasarkan pengamatan citra Landsat 8 Operational Land Imager dan pemantauan lapangan.
Menurut Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Raffles B Panjaitan, sampai dengan 31 Juli 2019 itu ada 135.747 luas hektare yang lahannya terbakar. Hampir 30.000 lebih di Riau.
Kemudian, lahan gambut yaitu 31.002 hektare dan mineral 104.746 hektare. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi lokasi yang mengalami kebakaran hutan dan lahan terluas, yakni 71.712 hektar.
Berikutnya, tiga provinsi lain, yaitu Riau, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Riau seluas 30.065, Kalimantan Selatan 4.670, dan Kalimantan Timur 4.430 hektar.
Advertisement
Seperti Apa Komitmen Pemerintah?
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya merasa heran mengapa pemerintah sudah mengetahui bagaimana pencegahan kebakaran hutan tetapi tidak dilakukan. Dia menilai komitmen dari pemerintah untuk menanggulangi kebakaran hutan sangat lambat.
Dari hasil audit kepatuhan perusahaan dan pemerintah daerah terhadap pencegahan kebarakan hutan dan lahan provinsi Riau, terdapat 12.541 titik panas dalam periode 2 Januari – 13 Maret 2014 di lahan gambut, dimana 93,6% dari keseluruhan titik panas tersebut berada di Provinsi Riau.
Kemudian 2019, pihaknya bersama kelompok advokasi Riau (KAR) pada kurun waktu Januari-Maret mendapatkan bahwa ada 737 hotspot di Provinsi Riau dan 96 persen di antaranya berada di wilayah prioritas restorasi gambut. Dan diperkirakan area terbakar seluas 5.400 ha di wilayah konsesi. Kebakaran hutan dan lahan gambut menyumbang 34 hingga 80 persen dari total emisi Indonesia tahun 2015.
"Ini kan menandakan komitmen yang enggak ada komitmen yang untuk benar-benar mencegah pemadaman," kata Teguh ketika dihubungi merdeka.com.
Dia menilai yang dikatakan Wiranto terkait penanggulangan kebarakan hutan dan lahan memang sudah seharusnya dilakukan. Namun dia tidak setuju dengan sikap Pemerintah memberhentikan beberapa pihak lantaran salah dalam menjalankan tugas. Dia menilai sikap pemerintah tidak menuntaskan masalah.
"Itu indikator besar bahwasannya pemerintah abai. Masalah dan hambatan sudah diketahui, teknologi ada, aturan perundang-undangan cukup dan kuat, komitmen ada, realita karhutla masih terjadi," ungkap Teguh.
Teguh menjelaskan pihaknya setuju dengan visi Jokowi yaitu investasi pembangunan pertumbuhan ekonomi. Tetapi menurut dia, pemerintah harus sigap untuk memilih investasi seperti apa yang sesuai dengan konstitusi. Seharusnya kata dia, harus ada terjemahan aturan ramah lingkungan hidup bukan sembarang investasi dan buat lahan terbakar.
"Karena investasi yang tidak terkontrol, jadi orang menebang sembarangan. Bakar hutan sembarangan, mengeringkan gabut sembarangan dan enggak ada penegakan hukum," kata Teguh.
Teguh juga menyesalkan mengapa baru kali ini pemerintah membahas hal itu kembali. Padahal sejak 2014 atau sebelumnya masalah kebakaran hutan belum bisa teratasi. Terkait strategi pemerintah yang dijabarkan Wiranto menurutnya seharusnya sudah lama diterapkan. Namun kali ini pemerintah tidak ada pengawasan sama sekali.
"Jadi intinya memang selama ini tidak ada pengawasan, tidak ada proses. Bahkan sudah diatur izin perkebunan sawit, dia baru diberikan izin kalau ada pernyataan dan bisa diverifikasi bisa menyediakan alat sistem peringatan dini. Baru bisa dapat izin," lanjut Teguh.
Sebab itu, Pemerintah kali ini harus segera mengembalikan kondisi alam. Lahan dan hutan yang awalnya kering harus jadi basah kembali agar tidak terbakar. Kemudian pemerintah harus menguatkan pengawasan dan penegakan hukum.
"Caranya, sudah saatnya terobosan pada pemerintah 2014 itu dilanjutkan jadi seluruh kabupaten, kota dan provinsi yang terbakar harus dilakukan audit kepatuhan. Baik terhadap pemerintah daerah, pusat dan juga perusahaan yang memiliki catatan terbakar," kata Teguh.
Dari hasil audit tersebut, terlihat kata Teguh mana yang jadi persoalan. Dan pemerintah juga harus tegas untuk menindak.Â
Â
Reporter: Intan Umbari Prihatin
Sumber: Merdeka
Â