Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo mengakui bahwa tahun ini jumlah titip api alias hot spot lebih banyak dibandingkan tahun lalu. Terpantau ada enam provinsi dengan dampak terparah.
"Provinsi yang terparah itu ada enam, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan," kata dia, saat ditemui setelah Rakor penanganan kebakaran hutan, di Kementerian Koordinator Bidang Polhukam, Jakarta, Rabu (21/8).
Dia mengatakan salah satu penyebab naiknya jumlah titik panas dan luasan lahan yang terbakar karena munculnya fenomena baru. Fenomena tersebut adalah munculnya NTT sebagai kontributor titik api.
Advertisement
Baca Juga
Berdasarkan data per 31 Juli 2019, jelas Doni, dari total 135 ribu hektare luasan lahan yang terbakar, tercatat luas lahan yang terbakar di NTT mencapai 71 ribu hektare.
"Tapi ada fenomena yang unik di sini, bahwa NTT yang tahun-tahun sebelumnya tidak banyak luas sebaran hot spot-nya itu sampai dengan 31 Juli, luas lahan yang terbakar itu mencapai 71 ribu hektare," urai dia.
"Luas lahan yang kemarin itu, sampai Juli 135 ribu hektare. Nah 71 ribu hektare itu adalah di NTT. Paling banyak," lanjut Doni.
Meskipun luas lahan di NTT terbilang besar, tapi hal tersebut tidak tergolong berbahaya. Sebab yang terbakar adalah padang sabana sehingga efek yang ditimbulkannya tidak besar dan apinya pun cepat padam.
"Hanya karena di NTT itu yang terbakar itu rumput, jadi asapnya sebentar hilang. Nah yang menjadi masalah gambut yang terbakar ini. Walaupun cuma 100 hektare, tapi asapnya luar biasa," ujar Doni.
"Jadi polutan yang ditimbulkan dari gambut ini dahsyat sekali dan inilah yang sangat membahayakan kesehatan. Jadi kalau data yang saya terima dari provinsi Riau pada 2015 Masyarakat yang terdampak ISPA itu mencapai kalau tidak salah 140 ribu orang. Tahun ini tadi kalau nggak salah di angka puluhan ribu ya," tandasnya.  Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Titik Kebakaran Hutan Bertambah, Kabut Asap Selimuti Kota Dumai
Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) kembali menyelimuti Kota Dumai, Riau. Selain adanya titik api di daerah pelabuhan itu, kabut asap ini juga merupakan kiriman dari Bengkalis yang banyak titik api.
Menurut Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru, Marzuki, jarak pandang di Kota Dumai pada Rabu pagi (20/3/2019) hanya dua kilometer.
"Sementara daerah lainnya, seperti Pekanbaru dan Indragiri Hulu yang terpapar kabut asap, jarak pandangnya lima hingga enam kilometer," kata Marzuki kepada Liputan6.com.
Dia menjelaskan, kepekatan asap di Kota Dumai juga dipengaruhi adanya uap air pada pagi hari. Seiring dengan naiknya matahari, kabut asap bakal terurai dan menjadi tipis.
"Biasanya kalau sudah siang jarak pandang mulai membaik hingga 5 kilometer," sebut Marzuki di kantornya.
Beberapa pihak menyebut kabut asap di Kota Dumai juga merupakan kiriman dari negara tetangga seperti Malaysia. Memang dalam beberapa hari terakhir di sejumlah wilayah Malaysia ada kabut asap yang belum bisa dipastikan akibat kebakaran lahan.
Terkait ini, Marzuki belum bisa memastikan karena BMKG disebutnya tidak pernah memantau titik panas dan titik api di sana. Hanya saja kalau melihat pergerakan angin, Marzuki menyebut memang ada mengarah ke perbatasan Sumatera, termasuk Dumai dan Bengkalis.
"Bisa saja dari Malaysia tapi tidak pasti, namun arah angin bergerak dari arah timur laut dan masuk ke perbatasan Sumatera," tegas Marzuki. Â
Advertisement
Asap Bergerak ke Provinsi Tetangga
Selain itu, kabut asap di Riau juga mengancam provinsi tetangga seperti Sumatera Utara dan Jambi. Pasalnya tiupan angin dari timur laut dan utara membawa asap ke arah selatan dan utara.
"Kemarin ada terpantau di perbatasan utara, kemudian ke selatan seperti Provinsi Jambi," kata Marzuki.
Dalam beberapa hari terakhir, titik panas sebagai indikasi Karhutla di Provinsi Riau terjadi lonjakan. Jika biasanya hanya terdeteksi puluhan, namun dalam dua hari terakhir angkanya mencapai ratusan.
Pada Selasa pagi, 19 Maret 2019, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru menyatakan ada 156 titik panas. Kemudian pada Rabu (20/3/2019) meningkat menjadi 165 titik panas.
Menurut Marzuki, melonjaknya titik panas karena potensi hujan dalam beberapa hari terakhir sangat minim. Ditambah lagi cuaca terik yang membuat lahan mudah terbakar.
Marzuki menjelaskan, curah hujan minim karena adanya badai tropis Savana serta Veronica di sekitar tenggara Sumatera. Ditambah lagi badai tropis di perairan Australia yang berpengaruh terhadap cuaca di Sumatera.
"Badai ini membuat pertumbuhan awan berpotensi hujan sangat sulit," kata Marzuki.
Badai itu membuat masa udara terpecah sehingga awan yang mulai terbentuk terurai lagi. Ditambah lagi dengan udara yang membentuk awan tertarik oleh badai ke daerah gangguan.
"Gangguan ini istilahnya divergent, awan berpotensi hujan sulit terbentuk," terang Marzuki.Â