Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Ombudsman RI La Ode Ida mengapresiasi perubahan tata tertib DPD RI yang akan diberlakukan pada periode 2019-2024 nanti. Tatib DPD RI baru ini, kata Dia, lebih menunjukkan kedisplinan terhadap anggota-anggota baru sehingga akan ada peningkatan kinerja.
"Saya apresiasi kalau niatnya seperti tadi tata tertib, karena memang tata tertib filosofinya hakikat keberadaan tatib itu adalah mengatur secara internal agar lembaga itu organisasi teratur," kata La Ode di Media Center, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (30 /9/2019).
Mantan Wakil Ketua DPD RI itu juga menilai tatib baru dapat memberikan sanksi terhadap anggota DPD RI yang tidak patuh untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. Terutama persoalan rapat-rapat legislasi baik itu kehadiran rapat paripurna atau rapat di komite-komite.
Advertisement
"Saya paham betul dan saya mengapresiasi betul jika kemudian faktor presensi itu menjadi satu ukuran untuk memberikan sanksi administrasi dan moral kepada setiap anggota sebagai bagian dari pelanggaran etik," katanya.
La Ode melanjutkan, anggota DPD RI merupakan perwakilan daerah yang harus dijaga budaya masing-masing. Untuk itu, ia menyesalkan jika ada senator yang tidak menjalankan fungsi-fungsi karena dapat merusak kelembagaan DPD RI itu sendiri.
"Tetapi soal yang lain soal gaduhnya itu mungkin mencari bentuk itu jangan sampai roh daerah, misalnya budaya Bali, itu harus terwujud, harus terkenal menjadi bagian dari berpengaruh pada kelembagaan nasional di DPD dan harus dijaga," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD, Mervin S Komber menjelaskan, proses pelantikan Presiden bisa terganggu jika Anggota DPD menolak atau mengubah Tata Tertib Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang baru.
"Secara otomatis akan menggangu, mulai dari proses pengajuan calon wakil ketua MPR dari DPD dan bahkan bisa mengganggu pelantikan Presiden juga, inilah kenapa saya mengimbau kawan-kawan, untuk tidak mempermasalahkan Tatib ini," ujarnya.
Penyusunan tatib ini kata Marvin, tidak datang tiba-tiba, namun sejatinya sudah dimulai cukup lama dan melahirkan beberapa pasal-pasal yang sebenarnya adalah bagian dari penyempurnaan.
"Salah satunya adalah tentang Provinsi Kalimantan Utara, awalnya itu hanya menyebutkan nama daerah tapi tidak disebutkan di alat kelengkapan, karena ditatib yang lama, Kaltara masih diwakili Kalimantan Timur, ini juga bagian penyempurnaan," katanya.
Sehingga kata dia, jumlah di alat kelengapan pada Tatib yang baru, ada 34 yang sebelumnya hanya 33. Yang menjadi polemik itu sejatinya adalah soal Pasal 55 Ayat 1 huruf b. Disebutkan calon pimpinan tidak pernah melakukan pelanggaran tatib dan kode etik yang ditetapkan Badan Kehormatan (BK) DPD. Selain itu, calon pimpinan tidak dalam status tersangka.
Dalam Pasal 55, Ayat 1 huruf a menyebutkan calon pimpinan harus menandatangan pakta integritas yang memuat tiga poin. Pertama, mewujudkan penyelenggaraan lembaga negara yang berwibawa, baik, bersih dengan menaati peraturan Tatib dan Kode Etik DPD.
Kedua, tidak melakukan politik uang, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk penyuapan atau gratifikasi. Ketiga, bersedia diberhentikan sementara oleh BK sesuai ketentuan mekanisme yang berlaku apabila ditemukan pelanggaran sesuai poin pertama dan kedua.
Sementara dalam pasal 54 menyebutkan pimpinan DPD terdiri atas dua mewakili Indonesia wilayah Barat dan dua perwakilan Indonesia wilayah Timur. Pimpinan akan dipilih secara musyawarah mufakat. Namun jika tidak tercapai kata mufakat maka akan dilakukan pemilihan secara pemungutan suara (voting).
"Ributnya karena ada pasal itu. Sejatinya, pasal tersebut justeru sebagai bagian, langkah kita ingin membangun parlemen yang bersih," tandasnya.
"Jika tidak mau atau menolak pasal itu, ya itu artinya mereka tidak setuju dengan adanya parlemen bersih. Dan saya sangat senang karena ternyata Pak La Ode Ida setuju dengan kami," tandasnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pengalaman dari Irman Gusman
Menurutnya lagi, pasal itu layak dimunculkan karena tidak ingin ada pemimpin DPD ke depan diisi orang-orang bermasalah. "Dan salah satu acuan kita adalah pengalaman saat DPD dipimpin pak Irman Gusman. Dimana saat beliau ditetapkan tersangka, kita bingung bagaimana berhentikan beliau, karena memang tidak ada dalam aturan," tegasnya.
Inilah kata dia, yang kemudian ditetapkan dalam Tatib yang baru. "Jadi secara otomatis, seorang pimpinan menjadi tersangka otomatis dia berhenti dari jabatan pimpinan juga nantinya," urainya.
Narasumber lainnya, yakni Pengamat politik UIN Jakarta Adi Prayitno juga mengapresiasi Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang mengatur pimpinan DPD RI periode 2019-2024.
Karena menurutnya, DPD RI ke depan harus terbebas dari permasalahan hukum dan persoalan etik, hal itu penting agar dalam lima tahun ke depan DPD RI dijaga marwah kelembagaannya. "Harus bebas dari masalah hukum dan etik karena DPD RI kan lembaga kenegarawanan yang mesti dijaga marwahnya,” kata Adi
Sosok pimpinan DPD RI juga harus negarawan yang bisa melebur dan diterima semua kalangan. Sebab, fungsi utama DPD RI adalah representasi daerah untuk diperjuangkan aspirasinya di level pusat. "Karenanya pimpinan DPD RI harus fleksibel dan bisa membangun jembatan harmonis dengan DPR,” kata Adi.
Jika DPD RI menjadi lembaga yang kuat, harus ada pemberian kewenangan dan fungsinya yang lebih. "Kalau mau memperkuat DPD fungsinya harus diubah dimana DPD harus diberikan kewenangan untuk bisa terlibat dan menentukan UU. DPD itu ada tapi seperti tiada karena tak punya kewenangan regulatif,” ungkapnya.
Advertisement