Liputan6.com, Jakarta - Ma, ibu MS (23) masih terniang-terniang senyum dan tawa putranya itu saat masih hidup. Yadi sapaan MS, meninggal dunia saat ikut demodi depan Gedung DPR-MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, pada Rabu 25Â September 2019 lalu.
Perempuan 49 tahun itu telah mengikhlaskan kepergian anak sulungnya. Dia tak ingin kasus ini diperpanjang. Meski sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian membenarkan, ada satu orang yang meninggal dalam demo DPR. Orang itu, kata dia, bukan pelajar atau mahasiswa, tapi perusuh.
Baca Juga
Hanya ada satu permintaannya, dia ingin kepolisian jujur tentang penyebab kematian anaknya.
Advertisement
"Saya sudah ikhlas mas, tapi saya cuma mau tahu kenapa anak saya bisa meninggal? Salah anak saya apa? Itu saja," kata Ma saat ditemui di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (4/10/2019).
Selain itu, Ma ingin kepolisian ikut bertanggung jawab atas seluruh biaya kebutuhan anak-anak Yadi dan adik-adiknya.
"Yadi itu sudah punya anak dua, umurnya 2 tahun dan 4 tahun. Kan sekarang jadi anak yatim. Terus Yadi itu kan sudah yatim, bapaknya, suami saya sudah meninggal," ujar Ma.
Dia menuturkan, Yadi yang meninggal usai demo di DPR itu merupakan tulang punggung keluarga. Dia berharap permintaan ini dikabulkan oleh kepolisian.
"Ya berharap, soalnya dia ikut bayar kontrak mas, adik-adik itu, kontrakan Rp 400 ribu, saya ikhlas, tapi itu mas saya minta, jujur aja dan biaya anak-anaknya dan adik-adiknya masih sekolah," pungkasnya.
Â
Ada yang Janggal
"Anak ibu meninggal karena gas air mata dan sakit sesak nafas," kata Ma menirukan polisi yang menemuinya saat itu.
Kata-kata tersebut jelas teringat di kepalanya. Kalimat itu disampaikan polisi saat mendatangi kediamannya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Kamis 26Â September 2019 malam.
Kala itu, Ma langsung menangis histeris ketika mengetahui anaknya meninggal.
Ma kemudian bertanya, kenapa anaknya meninggal dunia. Polisi menjawab anaknya jatuh dari mobil dan ditemukan tergeletak di jalan.
"Awalnya bilang ditemukan saat demo di jalan, jatuh dari mobil katanya. Lalu ditanya apa punya riwayat penyakit? Saya bilang iya. Jadi katanya meninggal karena sakit dan kena gas air mata," ujar Ma.
Tapi, pernyataan itu berubah. Polisi menyebutkan kalau Yadi meninggal dunia karena ikut demo di Depan Gedung DPR /MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat. Ia pun diminta diminta ikut ke RS Polri, Kramatjati, Jakarta Timur.
"Ada 8 orang (polisi), dua mobil," tuturnya mengingat-ingat kejadian saat itu.
Namun, dalam perjalanan, tiba-tiba polisi memintanya turun. Ma menyangka, mereka telah sampai di RS Polri.
"Eh tahunya saya dan adiknya, yang ikut tiga orang disuruh makan di restoran. Saya bilang enggak pak, saya sudah kenyang. Saya dan adiknya tunggu di luar, mereka (polisi) makan," kata Ma.
Selang beberapa menit, mereka pun menuju ke RS Polri. Di sana, ia melihat Yadi sudah tergeletak tak bernyawa tanpa satu pun pakaian. Ma melihat darah keluar dari kuping sebelah kiri.
"Saya tanya, ini kenapa ada darah ke pak polisi? Nafasnya kali nyesek bu, itu kata pak polisi," kata Ma. Dia kemudian diminta membuat surat pernyataan kalau anaknya meninggal dunia karena sakit.
"Saya kan masih syok, jadi adiknya yang tulis, tapi itu didikte sama polisi yang isinya kalau Yadi meninggal dunia karena sakit asma dan gas air mata dan saya yang tanda tangan di atas materai Rp 6.000, itu pernyataannya sama polisi, saya enggak pegang apa-apa. Emang anak saya ada sakit asma," ujar Ma.
Advertisement
Pernyataan Kapolri
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan, tidak ada pelajar atau mahasiswa yang meninggal dunia dalam bentrok atau dalam demo di sekitar DPR. Namun ada satu orang yang meninggal itu diduga perusuh karena bertindak anarkistis.
"Yang ada informasi bahwa tadi malam pada saat di daerah Slipi itu memang ada bentrok antara pasukan TNI dan Polri dengan masyarakat perusuh, perusuh karena mereka membakar pos, merusak mobil kendaraan, menutup jalan raya, melempar menggunakan batu, flare persis seperti peristiwa 21–22–23 Mei lalu. Itu di daerah Slipi," kata Tito soal demo mahasiswa kemarin di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Kemudian, lanjut dia, beredar informasi ada demonstran yang pingsan dan dibawa ke RS Polri.
"Informasi yang sementara ini yang saya terima tadi pagi yang bersangkutan meninggal dunia bukan pelajar, bukan mahasiswa tapi kelompok perusuh itu dan tidak ada satu pun luka tembak atau pun luka bekas penganiayaan, tidak ada," lanjut dia.
Dia menegaskan, sudah memerintahkan ke anggotanya untuk tidak menggunakan senjata berpeluru karet maupun tajam. Terlebih, di lokasi demo juga terdapat masyarakat yang tidak ikut berunjuk rasa.
"Karena saya juga sudah memerintahkan untuk tidak ada menggunakan senjata. Termasuk peluru tajam peluru karet pun tidak. Sehingga diduga hasil pemeriksaan sementara, kemungkinan besar kekurangan oksigen. Karena kan itu padat sekali, padat sekali masyarakat yang ada di situ. Atau mungkin dia ada gangguan lain fisiknya di dalam tubuhnya," ungkapnya.
Autopsi
Kapolri mengaku belum tahu penyebab meninggalnya demonstran tersebut. Oleh karena itu, Polri akan melakukan autopsi.
"Nanti kita akan koordinasi ke keluarga korban kalau boleh kita lakukan autopsi, kita akan lakukan autopsi," kata Tito tanpa mengungkapkan indentitas korban.
Dia kembali mengingatkan, tidak ada pelajar dan mahasiswa pada saat peristiwa tadi malam di Jakarta.
"Kemarin juga tidak ada demo mahasiswa di Jakarta yang ada anak-anak SMA yang kemudian disuruh, dan kemudian mereka juga diongkosi dan mereka diamankan di Polda dengan baik-baik. Kemudian di-interview dan sebagian besar sudah dipulangkan. Ini peristiwanya segmen kedua, malam. Malam itu melakukan aksi perusakan," tutur Tito.
Dia tak percaya mahasiswa dan pelajar yang merusak fasilitas umum kemarin. Dia meyakini, masyarakat Jakarta paham bagaimana jalan tol yang ada di dalam kota itu terhenti karena perusuh ini mendudukinya.
"Itu melempar petugas dengan batu, dengan flare persis yang dulu bulan Mei. Di RS Polri Bhayangkara tidak ada luka tembak karena memang tidak ada yang bersenjata. Kemudian juga diduga meninggal karena kekurangan oksigen atau mungkin faktor internal lainnya. Karena tidak ada bekas-bekas penganiyaan," ujar Tito.
Â
Reporter: Tim Merdeka
Sumber: Merdeka
Advertisement