Stafsus Jokowi: Grasi Annas Maamun Sudah Sesuai Prosedur

Dini menekankan pemberian grasi kepada Annas Maamun tak bisa dikaitkan dengan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Nov 2019, 14:28 WIB
Diterbitkan 29 Nov 2019, 14:28 WIB
Anas Maamun Kembali Diperiksa KPK
Annas Maamun saat memasuki mobil yang menjemputnya usai menjalani pemeriksaan lanjutan di gedung KPK, Jakarta, Senin (15/12/2014). (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Jokowi memberikan grasi kepada mantan Gubernur Riau Annas Maamun, terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan di Provinsi Riau. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Shanti Purwono menyebut, pemberian grasi tersebut sudah sesuai prosedur. 

"Dari sisi prosedur sudah benar. Sudah dengan mempertimbangkan kajian dari MA dan Menko Polhukam serta laporan penelitian kemasyarakatan Menkum HAM. Pertimbangannya karena terpidana sudah berusia lanjut dan kondisi kesehatan yang buruk,” kata Dini kepada merdeka.com, Jumat (29/11/2019). 

Dini menekankan pemberian grasi kepada Annas Maamun tak bisa dikaitkan dengan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi. Sebab, grasi hanya mengurangi hukuman bukan meniadakan hukuman kepada koruptor.

"Grasi yang diberikan hanya mengembalikan hukuman penjara seperti diputus di level PN yang kemudian dikuatkan oleh PT, dari 7 tahun menjadi 6 tahun. Hanya berkurang 1 tahun bukan meniadakan hukuman,” ujarnya.

Dini kemudian mempertanyakan manfaat bila Annas Maamun dipidana lebih lama. Politikus PSI ini berpendapat tak ada faedah menjebloskan koruptor ke penjara dalam waktu lebih lama sementara kesehatannya semakin buruk.

"Apakah akan memberikan faedah lebih secara signifikan? Sementara orang tersebut ada kemungkinan bisa meninggal dalam durasi 1 tahun tersebut karena depresi dan kondisi kesehatan yang buruk. Pertimbangan-pertimbangan seperti itu yang harus diperhitungkan dalam hal ini," ucap Dini.

Efek Jera

Menurut Dini masih banyak orang tak sadar bahwa pemidanaan bertujuan memberikan efek jera dan rehabilitasi. Selama ini, masyarakat berpandangan koruptor yang dipenjara harus disiksa. 

"Orang masuk penjara harusnya keluar menjadi lebih, bukan sebaliknya. Sekali lagi kita harus ingat bahwa tujuan pemidanaan bukanlah penyiksaan, melainkan kontrol sosial, memberikan efek jera/konsekuensi perbuatan pidana, dan yang paling penting adalah fungsi rehabilitatif," ujarnya.

"Ironis pada saat kita berteriak penegakkan HAM namun di saat yang bersamaan kita mengharapkan terpidana tersiksa sampai mati di penjara,” tutupnya.

Reporter: Titin Suprihatin

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya