4 Koruptor Ini Dapat Potongan Masa Tahanan hingga Bebas dari MA

Salah satu koruptor yang pernah menerima hadiah pemotongan masa tahanan dari Mahkamah Agung atau MA itu adalah terpidana korupsi Idrus Marham.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Des 2019, 11:07 WIB
Diterbitkan 09 Des 2019, 11:07 WIB
Remisi untuk Koruptor
Ilustrasi remisi koruptor

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah koruptor rupanya pernah mendapat hadiah dari Mahkamah Agung (MA). Hadiah tersebut berupa pemotongan masa tahanan hingga bebas.

Salah satu koruptor yang pernah menerima hadiah pemotongan masa tahanan tersebut adalah Idrus Marham.

Kala itu, MA mengabulkan pengajuan kasasi Idrus Marham. Mantan Menteri Sosial ini mengajukan kasasi setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara.

Alhasil, hukuman Idrus menjadi lebih ringan dibandingkan vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Jakarta Pusat. Hukuman yang diterima Idrus menjadi 2 tahun.

Tak hanya Idrus, Mahkamah Agung (MA) pun juga pernah memotong masa tahanan hingga memutuskan bebas terpidana koruptor.

Berikut 4 koruptor yang pernah menerima hadiah pemotongan masa tahanan hingga bebas dari MA:

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Idrus Marham

Idrus Marham
Mantan Menteri Sosial Idrus Marham tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/4/2019). Idrus Marham menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka Dirut nonaktif PT PLN Sofyan Basir terkait kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi terdakwa kasus suap PLTU Riau Idrus Marham. Mantan Menteri Sosial ini mengajukan kasasi setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman terdakwa kasus dugaan suap PLTU Riau 1 Idrus Marham menjadi 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Atau, lebih lama 2 tahun dari putusan Pengadilan Tipikor.

"Kabul," demikian bunyi putusan yang dikeluarkan 2 Desember 2019 tersebut, seperti dikutip dari laman MA, Selasa, 3 Desember 2019.

Sidang kasasi Idrus Marham tersebut dipimpin oleh majelis hakim Krisna Harahap, Abdul Latief dan Suhadi.

Sementara itu, penasihat hukum Idrus Marham, Samsul Huda mengaku, senang MA mengurangi hukuman kliennya menjadi 2 tahun penjara. Dia mengaku, belum menerima langsung petikan putusan MA terkait kasus suap proyek PLTU Riau-1 itu.

"Kami senang dan menghormati majelis kasasi dengan dikabulkannya upaya hukum kasasi Idrus Marham menjadi 2 tahun, meskipun kami berharap saudara Idrus Marham dapat diputus bebas atau lepas dari tuntutan," ujar Samsul Huda, Selasa, 3 Desember 2019.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman terdakwa kasus dugaan suap PLTU Riau 1 Idrus Marham menjadi 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.

Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya mengajukan banding atas vonis 3 tahun penjara denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan terhadap mantan Sekjen Partai Golkar itu.

"Menerima permintaan banding dari penuntut umum pada KPK dan penasihat umum terdakwa," demikian bunyi amar putusan banding seperti dikutip dari laman website Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 18 Juni 2019.

Amar putusan tersebut juga membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 9/Pid.Sus-TPK/2019/PN.JKT.PST. pada 23 April 2019 yang dimintakan banding.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Idrus Marham dengan pidana penjara selama 5 tahun," lanjut bunyi amar putusan. Putusan banding itu dibacakan pada Selasa, 9 Juli 2019.

Irman Gusman

Ajukan PK, Mantan Ketua DPD Irman Gusman Beberkan Sejumlah Bukti
Ekspresi mantan Ketua DPD Irman Gusman usai sidang pendahuluan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/10). Menurut kuasa hukum Irman, novum baru kasus ini terungkap saat persidangan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Selain Idrus, MA juga mengabulkan PK yang diajukan terpidana kasus suap kuota impor gula Irman Gusman. Vonis mantan Ketua DPD itu menjadi 3 tahun penjara.

"Hukumannya dikurang menjadi 3 tahun," ujar kuasa hukum Irman, Maqdir Ismail, saat dikonfirmasi, Kamis 26 September 2019.

Berdasarkan salinan putusan PK yang diterima awak media, hukuman Irman Gusman menjadi 3 tahun penjara denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan.

Dalam salinan tersebut, MA membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 112/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst tanggal 20 Februari 2017 tersebut. Putusan tersebut dibacakan oleh Hakim Ketua Suhadi, anggota Abdul Latif, dan Eddy Army.

Irman Gusman sebelumnya dijatuhi vonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor pada Februari 2017. Dia dinyatakan bersalah menerima suap Rp 100 juta dari Xaveriandi Sutanto dan Memi sebagai pemilik CV Semesta Berjaya.

Keduanya memberi suap Irman agar mengarahkan CV yang bergerak di bisnis sembako itu mendapat alokasi 1.000 ton gula impor dari Perum Bulog. Dalam fakta sidang, Irman menyanggupi permintaan Xaveriandi dan Memi dengan kompensasi ada jatah untuknya sebesar Rp 300 per kg.

Atas perbuatannya itu, selain divonis 4 tahun 6 bulan, hak politik Irman Gusman dicabut selama tiga tahun usai menjalani hukuman.

Patrialis Akbar

Patrialis Akbar Ajukan Permohonan PK
Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar saat membacakan memori permohonan peninjauan kembali (PK) ke MA di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (25/10). Sebelumnya, Patrialis Akbar divonis 8 tahun penjara. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Terpidana kasus suap impor daging Patrialis Akbar, juga mendapat potongan hukuman dari Mahkamah Agung. Awalnya, hukuman Patrialis Akbar selama 8 tahun penjara.

Namun pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) MA mengurangi hukuman menjadi 7 tahun dan membayar uang pengganti sebesar 10.000 USD.

"Menjatuhkan pidana kepada Pemohon PK/Terpidana dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp 300 juta subsider pidana kurungan selama 3 bulan," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dalam keterangan tertulis, Jumat 30 Agustus 2019.

Sebelumnya, Patrialis Akbar dianggap sah dan terbukti menerima 10.000 USD dan Rp 4.043.195 yang dianggap majelis hakim uang tersebut merupakan tindak pidana suap.

Sementara itu, dalam pertimbangannya majelis hakim mencantumkan hal hal yang meringankan dan memberatkan dalam vonis tersebut. Hal yang memberatkan, perbuatan Patrialis tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dan mencederai lembaga Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan hal yang meringankan, Patrialis bersikap sopan selama persidangan, belum pernah dihukum, dan punya tanggungan.

Jasanya sebagai menteri dan mendapat satya lencana juga menjadi pertimbangan majelis hakim yang meringankan vonis Patrialis.

"Pernah berjasa ke negara dapat satya lencana," tukasnya.

Dia juga dikenakan pidana tambahan dengan diwajibkannya mengembalikan 10.000 USD dan Rp 4.043.195. Hanya saja, majelis hakim menjatuhkan pidana selama 1 bulan jika Patrialis tidak mengembalikan uang tersebut. Sedangkan, jaksa penuntut umum KPK menuntut 1 tahun penjara jika tidak mampu mengembalikan.

Vonis majelis hakim terhadap mantan menteri Hukum dan HAM lebih ringan ketimbang tuntutan dari jaksa penuntut umum KPK.

Dalam tuntutannya, jaksa menuntut Patrialis 12 tahun 6 bulan penjara denda Rp 500 juta atau subsider 6 bulan kurungan penjara.

Sudjiono Timan

sudjiono-timan-130823c.jpg
Sudjiono Timan

MA juga mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sudjiono Timan. Koruptor yang merugikan negara Rp 396 miliar itu dibebaskan dari seluruh tuduhan.

Ketua Majelis PK Suhadi mengungkapkan, menemukan kekeliruan dalam putusan kasasi yang memvonis Sudjiono selama 15 tahun penjara, yakni terkait perbuatan melawan hukum (PMH) oleh Sudjiono.

"PMH secara material itu menurut putusan Mahkamah Konstitusi kan tidak boleh," kata Suhadi ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis, 22 Agustus 2013.

Menurut Suhadi, PMH secara material bisa melanggar ketidakpatutan dan ketidakhati-hatian. MA berpendapat, hal itu tidak boleh digunakan karena bertentangan dengan UUD.

"Itu yang menjadi salah satu pertimbangan majelis," kata Suhadi.

Sedangkan pertimbangan lainnya, lanjut dia, di dalam putusan kasasi MA waktu itu hanya terbukti PMH. Sedangkan, unsur kerugian negaranya sendiri mengacu pada judex factie.

"Padahal di judex factie kan putusannya onslag karena perbuatan perdata," paparnya.

Dikatakan Suhadi, kerugian negara akibat kasus itu belum bisa dikalkulasi, serta juga keuntungan yang dinikmati untuk diri sendiri oleh Sudjiono juga belum bisa dihitung.

"Karena itu kan sifatnya pinjaman. Uang itu dipinjamkan kepada BPUI pada tahun 1993, 1994, 1995, dan 1997, perusahaan itu untung terus. Tetapi pada 1998, dia (BPUI) itu terkena krisis dan merugi," ucap Suhadoi.

Dengan terjadinya krisis tersebut, katanya, BPUI rugi besar sehingga uang yang tadi sudah dipinjamkan itu sulit ditarik kembali. "Pihak bank sulit menagih kembali. Jadi memang terbukti ada kerugian tetapi itu perdata," kata Suhadi.

Terkait vonis pada tingkat pertama, kata Suhadi, vonis itu onslag, walaupun terbukti namun sifatnya perdata. Suhadi mengatakan Sudjiono adalah pimpinan perusahaan yang menggunakan uang sesuai dengan kewenangannya.

Perkara ini diputus oleh majelis PK yang diketuai Hakim Agung Suhadi dengan anggota Sophian Martabaya dan Andi Samsan Nganro serta 2 hakim adhoc tipikor Sri Murwahyuni dan Abdul Latif. Perkara ini diketok pada 13 Juli 2013.

Sudjiono Timan adalah Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Tindakannya dinilai merugikan negara US$ 120 juta dan Rp 98,7 juta.

Pada pengadilan tingkat pertama, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Sudjiono Timan. Jaksa tak terima dengan putusan itu. Karena dalam tuntutannya, jaksa meminta hakim memvonis Sudjiono 8 tahun penjara, denda Rp 30 juta, serta membayar uang pengganti Rp 1 triliun. Jaksa pun mengajukan kasasi.

Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Jaksa. Ketua Majelis Kasasi Bagir Manan menjatuhkan vonis 15 tahun dan denda Rp 50 juta kepada Sudjiono. Tak hanya itu, Bagir Manan juga meminta Sudjiono membayar uang pengganti Rp 369 miliar.

Namun, hingga saat ini kejaksaan belum dapat mengeksekusi Sudjiono Timan. Karena sejak 7 Desember 2004, Sudjiono Timan sudah tak ditemui di rumahnya di Jalan Diponegoro Nomor 46, Jakarta Pusat.

 

Reporter: Fellyanda Suci Agiesta

Sumber: Merdeka

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya