Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon menegaskan, Indonesia tidak perlu berunding dengan China terkait sengketa Natuna. Sebab langkah negosiasi akan mencederai konsistensi Indonesia dalam menjaga kedaulatan Natuna selama ini.
"China tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna Utara, demikian pula Indonesia juga tidak mengakui wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan China. Jadi, tak ada yang perlu dirundingkan. Itu mencederai konsistensi kita dalam menjaga kedaualatan Natuna sejauh ini," kata dia, dalam keterangan tertulis, Senin (6/1/2019).
Menurut dia, hak Indonesia atas perairan Natuna Utara sudah dilindungi oleh hukum laut internasional. China sendiri mengakui UNCLOS. Dengan demikian, dasar Indonesia sangat kuat.
Advertisement
"Itu sebabnya jangan sampai dibuka ruang negosiasi sekecil apapun dengan China terkait wilayah perairan tersebut. Kita tak boleh didikte oleh China atau berada di bawah tekanan China," tegas dia.
Indonesia, lanjut Fadli, hanya perlu meningkatkan patroli dan memperkuat penjagaan keamanan di perairan Natuna Utara. Hal tersebut patut diakui merupakan kelemahan Indonesia selama ini.
"Sebab, saya melihat perairan Natuna Utara sepertinya akan selalu diwarnai insiden serupa. Jangan lupa, insiden seperti kemarin sudah terjadi berkali-kali, seperti tahun 2016, 2015, 2013, bahkan sejak tahun 2010 dulu. Kita perlu mencurigai ada upaya sistematis untuk membawa persoalan ini ke meja perundingan bilateral," ungkap dia.
"Sebagai negara berdaulat, kita sebaiknya tidak terjebak pada skenario tersebut. Di meja perundingan bilateral, bagaimanapun posisi Indonesia akan mudah sekali ditekan China. Kita tak menginginkan itu terjadi," imbuh Fadli Zon.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Protes Melalui Menlu Sudah Tepat
Menurut dia, protes Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri atas masuknya kapal China ke wilayah perairan Natuna, sudah tepat. Mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, China memang tidak memiliki hak dan kedaulatan apapun di perairan tersebut.
Argumen bahwa perairan tersebut merupakan wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan China (traditional fishing right), sama sekali tak punya dasar hukum dan tak diakui.
Fadli menjelaskan, dalam UNCLOS, konsep yang dikenal adalah 'Traditional Fishing Rights', bukan 'Traditional Fishing Grounds'. Hal itu diatur dalam Pasal 51 UNCLOS. "Itu sebabnya masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan 9 garis putus yang diklaim oleh Cina, termasuk klaim 'Traditional Fishing Rights' mereka."
Indonesia memiliki dasar hukum internasional yang kuat untuk menolak klaim China tersebut. Apalagi, Putusan Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016, dalam sengketa antara Filipina melawan China, juga telah menegaskan kembali UNCLOS 1982. "Artinya, China tak punya dasar hukum mengklaim perairan Natuna Utara dan sembilan garis putus yang selalu mereka sampaikan. Padahal, China sendiri adalah anggota UNCLOS," tambah dia.
Terkait sengketa perairan Natuna, lanjut dia, Indonesia sebenarnya sejak lama telah mengambil sikap tegas untuk melindungi kedaulatan perairan Natuna. "Sejak dulu kita tidak pernah mengakui klaim sepihak China. Pada 2010, misalnya, kita bahkan pernah menulis catatan kepada Sekjen PBB bahwa klaim China mengenai sembilan garis putus-putus itu tidak memiliki basis hukum internasional," terang dia.
Pada 2017, Indonesia pun telah mengambil inisiatif penting dengan mengubah nama perairan Natuna menjadi perairan Natuna Utara. Menurut dia, setidaknya ada dua alasan kenapa perubahan nama itu perlu dilakukan.
"Pertama, untuk mencegah kebingungan di antara pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi landasan kontinen tersebut, mengingat di wilayah itu kita memiliki hak berdaulat. Kedua, untuk memberikan petunjuk yang jelas kepada Tim Penegakkan Hukum di Angkatan Laut (AL) Indonesia," tandasnya.
Â
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka
Advertisement