Wadah Pegawai KPK Tolak Usulan Menkumham soal Pembebasan Napi Koruptor

WP KPK pun menyatakan sikap, yakni untuk mendorong Presiden Joko Widodo agar memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk tidak melanjutkan revisi PP 99/2012

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Apr 2020, 13:13 WIB
Diterbitkan 03 Apr 2020, 13:13 WIB
1.000 Pegawai KPK Bikin Petisi Tolak Capim Bermasalah
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap memberi keterangan terkait petisi 1.000 tanda tangan tolak Capim KPK bermasalah di Gedung KPK, Jakarta, Senin (2/9/2019). Pegawai KPK berharap Presiden Joko Widodo selektif memilih 10 Capim KPK yang akan diberikan ke DPR. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) menolak usulan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Salah satu usulan revisi PP tersebut dengan membebaskan narapidana kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang telah berusia 60 tahun ke atas dan telah menjalani dua pertiga masa pidana. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan.

"WP KPK menilai terdapat beberapa argumentasi mengapa inisiatif tersebut sangat berbahaya bagi cita-cita pemberantasan korupsi dan harus ditolak," kata Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap dikutip dari Antara, Jumat (3/4/2020).

Pertama, kata dia, Indonesia saat ini sedang menggelontorkan sekitar Rp 405 triliun yang akan disalurkan dalam berbagai bentuk untuk mengatasi epidemi Covid 19.

"Hal tersebut bukan terlepas dari potensi adanya penumpang gelap untuk mengambil manfaat melalui korupsi. Untuk itu, pesan serius yang memberikan efek "deterrence" harus lah semakin ditekankan bukan malah dihilangkan. Termasuk salah satunya diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang menekankan pemberatan sampai hukuman mati bagi pelaku korupsi di tengah bencana," ucap Yudi.

Terlebih, lanjut dia, Indonesia telah mengalami potensi korupsi yang justru meningkat di saat krisis.

"Untuk itu, wacana pembebasan koruptor termasuk dengan merevisi PP 99/2012 tersebut pada saat kondisi krisis epidemi Covid 19 merupakan bentuk untuk meringankan bahkan mereduksi "deterrence effect" dari pemidanaan terhadap koruptor," kata Yudi.

Kedua, korupsi merupakan kejahatan yang serius. Untuk itu, penempatan tindak pidana korupsi setara dengan terorisme dalam ketentuan PP 99/2012 merupakan bentuk politik hukum negara untuk menempatkan posisi seriusnya kejahatan korupsi.

"Hal tersebut mengingat landasan kuat dilakukannya reformasi adalah karena persoalan korupsi di Republik Indonesia," ujar dia.

Ketiga, ia menyatakan bahwa sebetulnya wacana untuk merevisi PP 99/2012 itu bukan hal baru bahkan telah diwacanakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sejak 2016 dan telah mendapatkan respons penolakan dari publik sehingga ditolak.

"Untuk itu, jangan sampai epidemi Covid 19 justru malah menjadi momentum yang dimanfaatkan untuk memuluskan rencana tersebut," kata Yudi.


Minta Jokowi Menolak

KPK Rilis Indeks Penilaian Integritas 2017
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). KPK merilis Indeks Penilaian Integritas 2017. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Keempat, ia menjelaskan banyak metode lain yang dapat diterapkan untuk menghindari risiko penyebaran Covid-19 bagi para terpidana korupsi.

"Mulai dari adanya pengaturan soal sel sampai dengan kunjungan tahanan sehingga seharusnya tidak menjadi alasan," tuturnya.

Oleh karena itu, WP KPK pun menyatakan sikap, yakni untuk mendorong Presiden Joko Widodo agar memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk tidak melanjutkan revisi PP 99/2012 dan upaya lain yang dapat menghilangkan atau mengurangi hukuman bagi koruptor.

Kemudian, mengajak berbagai pihak terkait di pemerintahan termasuk Menteri Hukum dan HAM agar menolak rencana revisi PP 99/2012 dan upaya lain yang dapat menghilangkan atau mengurangi hukuman bagi koruptor.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya