Liputan6.com, Jakarta - Ada banyak sejarah serta warisan yang ditinggalkan oleh Sukarno atau Bung Karno untuk bangsa ini. Tak cuma dikenal sebagai sang proklamator, ayahanda dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ini juga dikenal sebagai arsitektur ulung.
Bahkan cerita Kepiawaannya dalam menggambar belum lama ini diungkap oleh arsitek Yuke Ardhiati dalam diskusi virtual bertema 'Bung Karno Sang Arsitek.'
Baca Juga
Yuke menjelaskan, putra sang fajar yang lahir pada 6 Juni 1901 adalah lulusan Teknik Sipil jurusan Pengairan (Waterbouwkunde) dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Advertisement
Saat masih menjadi mahasiswa, Bung Karno pernah menjadi asisten seorang profesor bernama Charles Prosper Wolff Schoemaker. Presiden Soekarno kala itu didaulat menjadi draftman sejumlah proyek arsitektur. Rumah Red Tulip, adalah salah satu karya terbaik mereka berdua.
"Jadi kesempatan baik itu menjadikan Bung Karno percaya diri mendirikan biro arsitek di tahun 1926," kata Yuke dalam diskusi, Selasa, 2 Juni 2020.
Dari sanalah kemudian muncul gagasan-gagasan Soekarno untuk membangun negara ini setelah menjadi Presiden Republik Indonesia. Ide tersebut lalu divisualisasikan oleh seorang arsitektur bernama Sudarsono. Tugu Monas atau Monumen Nasional adalah salah satu ide cemerlang Sang Proklamator.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Ingin Indonesia Jadi Surga
Begitu banyak cerita akan perjalanan hidup dari sosok Sang Proklamator hingga akhir hayatnya. Selain kisah cintanya Ratna Sari Dewi alias Dewi Soekarno, dia pun juga dikenal dekat dengan para ulama. Hal ini diungkap oleh Ketua DPP Baitul Musliman Indonesia (Bamusi) PDIP, Zuhairi Misrawi.
Menurutnya, Presiden pertama RI Sukarno ingin menjadikan Islam Kebangsaan sebagai kekuatan mempertahankan Islam di Indonesia.
"Jangan khawatir, jangan mundur selangkah, karena yang kita perjuangkan adalah memperjuangkan surga, memperjuangkan Islam, yaitu tegaknya nilai-nilai Pancasila di Indonesia ini," ucap Zuhairi di Hotel Sabty Garden, Asahan, Minggu, 16 Desember 2018 lalu.
Dia bercerita, pada 1935, diadakan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Banjarmasin, 10 tahun sebelum Indonesia merdeka yang dihadiri Bung Karno. Kepada para ulama, Bung Karno meminta ulama memikirkan bentuk Indonesia setelah merdeka.
"Hasilnya adalah para ulama mengatakan, 10 tahun sebelum merdeka, bahwa Indonesia nanti kalau merdeka, kita jadikan Indonesia sebagai Darussalam, sebagai surga. Bukan negara Islam," kata Zuhairi yang juga caleg DPR-RI dapil DKI Jakarta 2 itu.
Menurutnya, negara yang damai adalah negara yang menghargai keberagaman. Sama dengan Pancasila yang menjadi pemersatu beragamnya warganya.
"Jadi Pancasila adalah Darussalam, Pancasila adalah 'surga' bagi kebhinekaan, membangun persaudaraan," ujar Zuhairi.
Menurut Zuhairi, kisah itu pula yang akhirnya membuat dirinya bergabung dengan PDIP sejak lulus dari Universitas Al Azhar, Mesir.
Advertisement
Cerita Percobaan Pembunuhan
Selain itu, perjalanan hidupnya juga tak lepas dari beberapa kali diwarnai upaya percobaan pembunuhan. Menurut catatan Liputan6.com, ada tujuh kisah upaya pembunuhan terhadap Sang Proklamator ini. Salah satunya terjadi di Kampus di Jalan Cikini Raya Nomor 76, Jakarta Pusat.
Sabtu 30 November 1957, Yayasan Perguruan Cikini, saat itu tampil meriah karena merayakan ulang tahun ke-15 berdirinya yayasan ini, pada 1 Agustus 1942.
Malam itu, Presiden Sukarno juga dijadwalkan hadir atas undangan Kepala Perguruan Cikini Sumadji Muhammad Sulaimani. Tak heran, karena seluruh putra dan putri Bung Karno, yaitu Guntur Sukarnoputra, Megawati Sukarnoputri, Rachmawati Sukarnoputri, Sukmawati Sukarnoputri, dan Guruh Sukarnoputra bersekolah di tempat itu.
"Saat itu saya bertugas menjaga pameran, kakak dan adik-adik saya juga. Lalu Bung Karno mengunjungi kami sebagai orangtua," jelas Megawati saat menghadiri peluncuran tiga buku seri sejarah Sukarno di Museum Nasional, Jakarta, Kamis, 30 November 2017.
Bung Karno datang dengan elegan, menumpang mobil Chrysler Crown Imperial yang berpelat Indonesia 1. Kendaraan itu merupakan hadiah dari Raja Arab Saudi, Saud bin Abdul Aziz, usai Bung Karno berkunjung ke negara itu pada 18 Juli hingga 4 Agustus 1955.
Datang dengan pengawalan iring-iringan sepeda motor polisi lalu lintas, mobil jip pengawal dari Korps Polisi Militer, dan jip pengawal Detasemen Kawal Pribadi Presiden, rombongan itu mendapat sambutan tamu undangan serta warga yang berada di sekitar Perguruan Cikini.
Cukup lama Bung Karno menghabiskan waktu meninjau lokasi bazar di sekolah anak-anaknya itu sebelum kemudian beranjak pulang. Namun, tak mudah bagi sang presiden untuk meninggalkan lokasi. Puluhan murid Perguruan Cikini yang ingin bersalaman dan berfoto membuat langkah Bung Karno yang akan menaiki mobil tertahan.
Keceriaan di halaman sekolah itu tak berlangsung lama. Enam granat aktif dilemparkan sejumlah pelaku yang tidak diketahui identitasnya ke arah Bung Karno yang tengah dikerumuni para murid. Granat meledak, darah pun tumpah.
Tujuh orang langsung meninggal di tempat dan puluhan lainnya terluka. Dua korban tewas adalah brigadir pengawal voorijders presiden, yakni Muhammad dan Ahmad bin Udi. Sementara, mobil Chrysler dari Raja Arab pun rusak berat. Ban depan kanan-kiri pecah, spatbor berlubang, juga terdapat kerusakan pada kap dan mesin.
"Saya tidak terlupa karena korbannya dari kawan saya ada 100-an orang, baik meninggal, luka parah, atau luka kecil. Ada beberapa yang cacat seumur hidup," kata Megawati.
Presiden sendiri selamat dari kejadian yang kemudian disebut Peristiwa Cikini itu. Selain kesigapan para personel Detasemen Kawal Pribadi, pasukan pengawal Sukarno yang dipimpin Komisaris Besar Mangil Martowidjojo, Bung Karno bisa selamat karena lemparan granat yang meleset akibat pelaku yang ragu-ragu.
"Karena lihat Bung Karno begitu ceria tertawa bersama teman-teman sekolah saya, detik-detik itu terlewat. Jadi, korbannya banyak teman saya di Cikini," sambung Megawati.
Tiga hari berselang, Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR) untuk menciduk para pelaku. Mereka para teroris berasal dari Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Pinrang, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Pengasingan Soekarno di Flores, NTT
Dari deretan kisah perjalanan hidup Soekarno, sejumlah tempat pengasingan yang dia rasakan sebelum masa kependudukan Jepang juga menjadi coretan penting sejarah bagi bangsa ini.
Salah satunya adalah Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di kota inilah Putra Sang Fajar merumuskan Pancasila.
"Ilham untuk mendapatkan konsep Pancasila muncul setelah Soekarno merasakan dan merenungkan kehidupan masyarakat Ende pada masa itu," ujar Bupati Ende, Marselinus Y.W Petu saat itu kepada Liputan6.com.
Masyarakat Ende, menurut Marsel, dinilai Soekarno memiliki simponi tersendiri karena hidup menyayangi dan saling menghargai antara satu pemeluk agama dengan umat agama lain. Soekarno juga memantapkan jiwa nasionalismenya di Ende.
Selama pengasingannya di Kota Ende, Bung Karno juga dikenal sangat dekat dengan anak-anak di Pulau Flores.
Dalam buku Berkibarlah Benderaku, karya Bondan Winarno, Bung Karno mendirikan kelompok teater serta mengajari anak-anak menyanyi dan membuat origami. Cara membuat bendera Merah Putih, itulah hal pertama yang diajarkan Sang Proklamator.
Saat kedua warna itu dipadukan, lalu dipasangkan pada sebuah batang lidi, maka jadilah membentuk Bendera Merah Putih.
Kedekatan Sukarno pada anak-anak di Kota Ende, Flores, tak hanya sebatas mengajarkan cara bernyanyi dan seni melipat keras dari Negeri Sakura. Irama siulan Bung Karno pun saat itu sangat akrab terdengar di telinga mereka.
Siulan bernada panjang seketika terdengar saat langkah-langkah kecil itu mulai mendekati rumah Bung Karno. Rupanya, siulan unik itu adalah lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan setiap pengibaran bendera.
Advertisement
Ucapan Terakhir Putra Sang Fajar
Di penghujung hayatnya, kisahnya tak seindah jasa-jasanya untuk Kemerdekaan Indonesia. Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto menjadi saksi bisu di detik-detik terakhir kehidupan Sang Proklamator, Sukarno.
Bung Karno wafat tanpa penghargaan dan penghormatan dari bangsanya.
"Semangatnya sudah hilang bertahun-tahun sebelum itu. Saat Jenderal Soeharto menahannya di Wisma Yaso. Sukarno diasingkan dari rakyat yang dicintainya. Bahkan keluarga pun dipersulit untuk menjenguknya," tulis @sejarahRI dalam buku Soekarno Poenja Tjerita terbitan tahun 2016.
Presiden RI Soekarno mengembuskan nafas terakhirnya di ruang perawatan RSPAD Gatot Subroto, Minggu, 21 Juni 1970, pukul 07.07 WIB. Dia mengidap komplikasi ginjal, gagal jantung, sesak nafas, dan reumatik.
Dalam buku lain berjudul IR. Soekarno karya Wahjudi Djaja, tertulis bahwa sakit yang diderita Sukarno sejak Agustus 1965 semakin parah. Ia kemudian memohon kepada Soeharto agar diizinkan kembali ke Jakarta melalui putrinya, Rachmawati.
Setelah mendapat izin, Bung Karno akhirnya pindah ke Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala) dengan status tahanan. Pengamanan terhadap Sang Proklamator diperketat.
Saat kondisinya semakin memburuk dan menurun, pada Sabtu, 20 Juni 1970, pukul 20.30 WIB, keesokan harinya dia mengalami koma.
Dokter yang merawat Sukarno lalu meminta putra putri Sang Proklamator untuk berkumpul. Guntur, Megawati, Sukmawati, Guruh, dan Rachmawati pun hadir di rumah sakit saat itu, Minggu, 21 Juni 1970, pukul 06.30 WIB.
Pukul tujuh lewat, perawat yang bertugas mulai mencabut selang makanan dan alat bantu pernapasan dari tubuh Sukarno. Anak-anak Sukarno kemudian mengucap takbir.
Melihat kondisi sang ayah, Megawati membisikkan kalimat syahadat ke telinga ayahnya. sebelum kalimat itu selesai, Sukarno mengucap nama sang pencipta.
"Allah...," bisik Sukarno pelan seiring embusan nafas terakhirnya.