Liputan6.com, Jakarta - Dunia hiburan Indonesia tengah berduka atas wafatnya sang maestro, Titiek Puspa. Penyanyi legendaris yang juga dikenal sebagai pencipta lagu dan aktris ini mengembuskan napas terakhir pada Kamis, 10 April 2025 pukul 16.30 WIB di Jakarta.
Titiek Puspa merupakan salah satu ikon seni Indonesia yang kiprahnya telah melintasi lintas generasi. Nama asli Titiek Puspa adalah Sudarwati, lahir di Tanjung, Kalimantan Selatan pada 1 November 1937. Sejak muda, ia sudah menapaki panggung hiburan nasional.
Karier Sudarwati bermula dari ajang pencarian bakat Bintang Radio di Semarang. Dari situ, bakatnya mulai dilirik banyak pihak, termasuk komposer kenamaan Sjaiful Bachri dari Orkes Simfoni Jakarta. Ia pun diminta menjadi penyanyi tetap.
Advertisement
Penampilannya yang memukau saat menyanyikan lagu “Chandra Buana” karya Ismail Marzuki menjadi titik balik penting dalam kariernya. Saat itulah, sosoknya mulai diperhitungkan di panggung musik Tanah Air.
Namun, tidak banyak yang tahu bahwa nama “Titiek Puspa” bukanlah nama asli pemberian orang tuanya. Nama itu justru diberikan langsung oleh Presiden Soekarno pada era 1950-an.
Soekarno menyematkan nama tersebut sebagai bentuk apresiasi terhadap bakat luar biasa yang dimiliki Titiek muda. Nama aslinya ialah Sumarti binti Jatin Toegeno Poespowidjojo, ada yang menyebut Sudarwati.
Nama baru itu seolah menjadi pembuka jalan panjang kariernya di dunia seni. Ia dikenal luas tak hanya sebagai penyanyi, namun juga pencipta lagu, aktris, dan penulis. Lagu-lagunya seperti “Kupu-Kupu Malam” dan “Di Sudut Bibirmu” menjadi abadi dalam ingatan publik.
Advertisement
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Kata Buya Yahya Boleh Saja, Begini Aturannya
Terkait pergantian nama yang dilakukan Presiden Soekarno kepada Titiek Puspa. Pendakwah yang kini tinggal di Cirebon KH Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya menjelaskan dalam kajiannya bahwa mengganti nama boleh saja, bahkan dianjurkan, dengan syarat tertentu.
Dalam video yang dikutip dari kanal YouTube @AlBahjah-TV, Sabtu (12/4/2025), Buya Yahya menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pun menganjurkan penggantian nama jika nama tersebut memiliki makna yang tidak baik atau tidak layak.
"Kalau ada namanya tidak pantas, tidak layak, boleh diganti dengan nama yang maknanya bagus," tutur Buya Yahya dalam pengajiannya. Menurutnya, makna menjadi hal utama dalam sebuah nama.
Buya juga menegaskan bahwa nama baik tidak harus menggunakan bahasa Arab. Yang penting, maknanya baik dan pernah digunakan oleh sosok yang akhlaknya baik pula. Ini menjadi dua kriteria utama.
"Yang pertama secara makna harus baik. Yang kedua, jika nama itu pernah dipakai oleh seseorang, maka orang itu harus baik juga," ujar Buya Yahya. Ia menyebut bahwa nama seharusnya menyambung dengan keteladanan.
Sebagai contoh, ia menyebutkan nama “Salman.” Menurut Buya, bila seseorang menamai anaknya dengan nama Salman, maka itu hendaknya tersambung dengan sosok seperti Salman Al-Farisi, sahabat Nabi yang dikenal dengan kemuliaannya.
Namun, bila nama yang diberikan justru pernah digunakan oleh tokoh atau figur yang buruk, maka hal itu tidak lagi memenuhi syarat sebagai nama baik. “Jangan cuma ambil nama, tapi juga sambungannya ke siapa,” ujarnya.
Buya Yahya juga mengingatkan bahwa mengganti nama bukanlah perkara main-main. Dalam konteks agama, nama membawa doa dan harapan yang akan melekat sepanjang hidup seseorang.
Advertisement
Ganti Nama, Perlukah Syukuran?
Lalu bagaimana dengan syukuran saat ganti nama? Menurut Buya Yahya, tidak wajib mengadakan syukuran. Ia menyebutkan bahwa syukuran itu sunnah, bukan kewajiban, tapi tetap dianjurkan.
“Ganti nama saja beres. Syukuran itu sunnah. Yang penting bersyukur kepada Allah, dan kalau bisa, sedekah,” tutur Buya Yahya. Ia menambahkan bahwa sedekah dalam rangka ganti nama bisa menjadi pembuka keberkahan dan penolak bala.
Tradisi seperti menyembelih ayam saat ganti nama, menurut Buya, adalah bentuk sedekah yang diperbolehkan dan dianjurkan. Asal diniatkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah, bukan sebagai syarat mistis.
Kembali pada sosok Titiek Puspa, pergantian namanya menjadi contoh bagaimana nama bisa menjadi bagian penting dari jati diri. Pemberian nama oleh Presiden Soekarno itu membawa berkah tersendiri dalam perjalanan karier Titiek.
Nama “Titiek Puspa” kini telah menjadi legenda yang dikenang sepanjang masa. Ia bukan hanya menyandang nama besar, tetapi juga mewariskan karya-karya besar bagi dunia seni Indonesia.
Perpaduan antara takdir, penghargaan, dan nilai kebaikan dari nama tersebut memperlihatkan bahwa setiap nama memiliki kekuatan. Dan seperti kata Buya Yahya, kekuatan itu ada pada makna dan figur di baliknya.
Wafatnya Titiek Puspa meninggalkan duka mendalam bagi dunia hiburan nasional. Namun kisah hidupnya yang penuh inspirasi akan terus hidup dan menjadi pelajaran bagi generasi mendatang.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
