Alasan MA Sunat Hukuman 2 Terpidana Korupsi E-KTP

MA memotong hukuman dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Sugiharto.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 29 Sep 2020, 15:08 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2020, 15:08 WIB
Gedung MA
Gedung Mahkamah Agung di Jakarta. (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) kembali menyunat hukuman terpidana kasus korupsi. Kali ini, MA memotong hukuman dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Sugiharto. Keduanya merupakan terpidana korupsi megaproyek e-KTP.

Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro membeberkan pertimbangan mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Irman dan Sugiharto. Menurut Andi, Irman dan Sugiharto telah ditetapkan KPK sebagai juctice collborator (JC) dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan Pimpinan KPK No. 670/01-55/06-2017 tanggal 12 Juni 2017.

"Terpidana juga bukan pelaku utama dan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga penyidik dan penuntut umum dapat mengungkap peran pelaku utama dan pelaku lainnya dalam perkara a quo," ujar Andi dalam keterangannya, Selasa (29/9/2020).

Andi menegaskan, putusan PK Irman dan Sugiharto tersebut merupakan hasil musyawarah Majelis PK yang terdiri dari Hakim Agung Suhadi selaku Ketua Majelis PK serta Hakim Agung Krisna Harahap dan Sri Murwahyuni selaku Anggota Majelis.

Putusan Majelis PK tidak bulat lantaran Hakim Agung Suhadi menyatakan dissenting opinion atau mempunyai pendapat berbeda. Suhadi menilai Irman dan Sugiharto memiliki peran penting dalam korupsi proyek e-KTP yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 2,3 triliun karena keduanya merupakan kuasa pengguna anggaran dalam proyek e-KTP.

"Namun demikian putusan PK kedua perkara tersebut hasil musyawarah majelis hakim PK tidak bulat karena Ketua Majelis, Suhadi menyatakan dissenting opinion (DO). Suhadi menyatakan dissenting opinion karena Terpidana a'quo memiliki peran yang menentukan yaitu sebagai kuasa pengguna anggaran," kata Andi.

Diberitakan sebelumnya, MA menyunat hukuman Irman dan Sugiharto yang merupakan terpidana korupsi megaproyek e-KTP.

Dalam amar putusannya, Majelis PK MA menjatuhkan hukuman 10 tahun pidana penjara terhadap Sugiharto yang merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek e-KTP. MA menyunat hukuman Sugiharto 5 tahun dari putusan kasasi 15 tahun.

Sementara hukuman Irman yang merupakan mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dipotong 3 tahun dari putusan kasasi 15 tahun menjadi 12 tahun.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tetap Jatuhkan Hukuman Denda

Meski masa hukuman pidana penjara dikurangi, MA tetap menjatuhkan hukuman denda terhadap Irman dan Sugiharto yakni sebesar Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan. Selain itu, Irman dan Sugiharto juga tetap dijatuhi hukuman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebagaimana putusan Kasasi.

Untuk Irman, MA menjatuhkan kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD 500 ribu dan Rp 1 miliar dikurangi uang yang telah diserahkan Irman kepada KPK sebesar USD 300 ribu subsider 5 tahun pidana. Sementara Sugiharto diwajibkan membayar uang pengganti sebesar USD 450 ribu dan Rp 460 juta dikurangi uang yang telah disetorkan kepada KPK subsider 2 tahun penjara.

Berkurangnya hukuman Irman dan Sugiharto menambah panjang daftar terpidana korupsi yang hukumannya disunat MA melalui putusan PK. Sebelum Irman dan Sugiharto, berdasarkan catatan KPK, sepanjang 2019 hingga saat ini, terdapat 20 perkara korupsi yang ditangani lembaga antikorupsi yang hukumannya dikurangi melalui putusan PK MA.

Fenomena tersebut mendapat kritikan dari Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango. Menurut Nawawi Pomolango sejatinya MA dapat memberi argumen sekaligus jawaban di dalam putusan-putusan terkait peninjauan kembali (PK) yang diajukan para narapidana kasus korupsi.

"Seharusnya MA dapat memberi argumen sekaligus jawaban dalam putusan-putusannya. Khususnya putusan PK, yaitu legal reasoning 'pengurangan hukuman-hukuman dalam perkara-perkara a quo," ujar Nawawi kepada Liputan6.com, Selasa (29/9/2020).

Menurut Nawawi, hal tersebut semestinya dilakukan MA agar tidak menimbulkan kecurigaan publik dan tergerusnya rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi.

Menurut Nawawi, maraknya penyunatan hukuman melalui upaya hukum PK setelah MA ditinggal Artidjo Alkotsar. Artidjo diketahui kini bertugas sebagai Dewan Pengawas KPK.

"Terlebih putusan-putusan PK yang mengurangi hukuman ini marak setelah gedung MA ditinggal sosok Artidjo Alkostar. Jangan sampai memunculkan anekdot hukum 'bukan soal hukumnya, tapi siapa hakimnya'," kata Nawawi.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya