Liputan6.com, Jakarta KPK telah menetapkan tersangka terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Dia diduga terlibat kasus dugaan korupsi terkait penetapan perizinan ekspor benih lobster atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2020.
Penangkapan Edhy Prabowo di Bandara Soekarno pada Rabu 25 November merupakan hasil pantauan KPK sejak beberapa bulan lalu. Bahkan mulai bulan Mei, gerak-geriknya sudah masuk radar KPK.
Baca Juga
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyebut, pada 4 Mei 2020, Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster, dengan menunjuk Andreau Pribadi Misata(APS) selaku staf khusus Menteri juga selaku Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) dan Safri (SAF) selaku Staf Khusus Menteri sekaligus menjabat selaku Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence).
Advertisement
"Salah satu tugas dari Tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur," kata dia dalam keterangan pers, Rabu malam (25/11/2020).
Selanjutnya pada awal Oktober 2020, Suharjito (SJT) selaku Direktur PT DPP datang ke kantor KKP di lantai 16 dan bertemu dengan Safri. Dalam pertemuan itu, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800/ekor yang merupakan kesepakatan antara Amiril Mukminin (AM) selaku swasta dengan APS dan SWD.
"Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp731.573.564. Selanjutnya PT DPP atas arahan EP melalui Tim Uji Tuntas (Due Diligence) memperoleh penetapan kegiatanekspor benih lobster/benur dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan perusahaan PT. ACK," kata dia.
Berdasarkan data kepemilikan, pemegang PT ACK terdiri dari Amri dan Ahmad Bahtiar (ABT) yang diduga merupakan nominee dari pihak EP serta YSA. Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya di tarik dan masuk ke rekening AMR dan ABT masing-masing dengan total Rp 9,8 Miliar.
Selanjutnya pada 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening ABT ke rekening salah satu bank atas nama AF sebesar Rp3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan EP, IRW, SAF dan APM, antara lain dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy Prabowo dan Iin Rosita Dewi di Honolulu AS ditanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp 750 juta diantaranya berupa Jam tangan rolex, tas Tumi dan LV, bajuOld Navy.
"Disamping itu pada sekitar Mei 2020, Edhy Prabowo juga diduga menerima sejumlah uang sebesar US$ 100.000 dari SJT melalui SAF dan AM. Selain itu SAF dan APM pada sekitar Agustus 2020 menerima uang dengan total sebesar Rp 436 juta dari AF," kata Nawawi.
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jadi Tersangka
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan dan sebelum batas waktu 24 jam sebagaimana diatur dalam KUHAP, dilanjutkan dengan gelar perkara,KPK pun menetapkannya sebagai tersangka.
"KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh Penyelenggara Negara terkait dengan perizinan tambak, usaha dan ataupengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020," kata Nawawi.
Sementara dua tersangka lainnya masih belum ditangkap, yakni Andreau Pribadi Misanta (APM) selaku Stafsus Menteri KKP, dan Amiril Mukminin (AM) selaku swasta.
Atas perbuatannya, para penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 Ayat (1) Huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Sebagai pemberi suap, disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Advertisement