Pakar Hukum Sebut Penyitaan Aset Terkait TPPU Jangan Rugikan Pihak Ketiga

Ketidakhatian-hatian dalam proses penyitaan aset yang berkaitan dengan TPPU berpotensi menimbulkan double punishment oleh negara.

oleh Muhammad Ali diperbarui 31 Jan 2021, 09:04 WIB
Diterbitkan 31 Jan 2021, 08:29 WIB
Capim KPK
Ketua Pansel KPK Yenti Ganarsih memberikan keterangan mengumumkan peserta lulus dari tes profile assesment calon pimpinan KPK periode 2019-2023 di Jakarta, Jumat (23/8/2019). Sebanyak 20 orang lulus untuk kemudian menjalani tes kesehatan serta wawancara dan uji publik. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih menegaskan pentingnya penerapan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam setiap kasus yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Selain akan memberikan efek jera bagi para pelaku, penerapan UU TPPU memberikan peluang lebih besar mengembalikan kerugian negara atau aset recovery.

Hal itu dikatakan Yenti Ganarsih dalam Webinar Nasional bertema “Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Yang Disertai TPPU di masa Pandemi”yang digelar Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, Sabtu 30 Januari 2021.

Meski demikian Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor ini mengingatkan, penerapan pasal-pasal TPPU perlu dilakukan secara hati-hati. Khususnya yang terkait dengan proses penyitaan aset hasil korupsi yang terjadi di lembaga yang mengelola dana publik atau institusi keuangan seperti asuransi dan pasar modal.

“Jangan sampai penyitaan aset ini merugikan pihak ketiga yang beritikad baik; dalam hal ini para nasabah pemegang polis dan investor yang memiliki rekening efek atau saham di pasar modal yang tidak terkait dengan perkara yang asetnya ikut dirampas”, ujarnya.

“Hal ini berbahaya karena menyangkut persepsi dan kepercayaan publik khususnya investor terhadap pasar modal yang pada akhirnya bisa mengganggu upaya pemerintah dalam melaksanakan program pemulihan ekonomi,” tambahnya.

Lebih lanjut Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) ini mengatakan, ketidakhatian-hatian dalam proses penyitaan aset yang berkaitan dengan TPPU berpotensi menimbulkan double punishment oleh negara dalam satu perkara korupsi. Di mana dalam perkara TPPU penyidik memberlakukan pasal 18 UU Tipikor sebagai persiapan uang pengganti.

Hal ini misalnya tercermin dari jumlah aset yang disita dalam kasus Jiwasraya sebesar lebih Rp18 Triliun, yang ternyata melebihi kerugian negara berdasarkan audit BPK sebesar Rp 16,8 Triliun.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Apresiasi kepada Aparat Hukum

Lebih jauh Yenti menambahkan, penanganan kasus korupsi sangat berkaitan erat dengan persepsi publik, termasuk juga persepsi masyarakat internasional terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tidak hanya menyangkut upaya pemberantasan korupsinya, namun juga bagaimana perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik, yang ikut terkena dampak.

“Turunnya peringkat Indonesia dari posisi 40 menjadi 37 dalam indeks korupsi atau Corruption Perception Index yang dirilis Transparani Internasional menunjukkan pemberantasan korupsi di Indonesia belum maksimal dan harus menjadi peringatan bagi kita untuk lebih serius dalam penindakan dan pemberantasan kasus korupsi,” ujarnya.

Di sisi lain Ketua Pansel KPK 2019-2023 ini mengapresiasi penindakan dan pengusutan kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum di masa pandemi, baik itu oleh Polri, KPK maupun Kejaksaan Agung. Sebab faktanya situasi pandemi ternyata tidak menyurutkan para pelaku korupsi untuk mencuri uang negara.

Seperti yang terjadi dalam kasus korupsi dana bantuan sosial di Kemensos dan skandal korupsi ekspor benur di Kementrian Kelautan dan Perikanan. Kejaksaan Agung juga kini tengah gencar menyidik dugaan kasus korupsi di tubuh Asabri.

Sementara itu pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, DR Chairul Huda mengakui ada pemahaman atau cara pandang yang salah dari aparat penegak hukum dalam hal penyitaan aset yang terkait dengan pihak ketiga dalam penanganan perkara pidana korupsi.

Menurutnya, hal ini tidak hanya terjadi dalam kasus Jiwasraya. Namun juga pernah terjadi dalam kasus penggelapan di First Travel beberapa tahun lalu. Di mana penyidik merampas aset – yang nota bene berasal dari dana milik korban penipuan – untuk diserahkan pada negara.

Chairul menambahkan, dalam beberapa kasus penyidik cenderung lebih dulu melakukan penyitaan tanpa memeriksa atau memverifikasi apakah aset-aset tersebut benar-benar terkait dengan hasil korupsi maupun pencucian uang atau TPPU.

Kondisi ini menimbulkan masalah baru maraknya keberatan sita dari pihak ketiga yang merasa dirugikan. Saat ini lanjut Chairul, setidaknya ada 83 keberatan sita dari pihak ketiga yang terabit dengan penyitaan aset Jiwasraya. Meski pasal 19 UU Tipikor memberikan ruang bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk mengajukan keberatan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya