Liputan6.com, Jakarta - Imbas pandemi Covid-19 telah menyasar ke segala sektor, tak terkecuali sektor pendidikan. Setelah mengganti kebijakan pembelajaran tatap muka di sekolah dengan pembelajaran jarak jauh atau daring, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim resmi meniadakan Ujian Nasional (UN) dan Ujian Kesetaraan untuk tahun 2021.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang Peniadaan Ujian Nasional dan Ujian Kesetaraan Serta Pelaksanaan Ujian Sekolah Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19).
Berbeda dengan era UN, untuk syarat kelulusan, peserta didik harus menyelesaikan program pembelajaran pada masa pandemi Covid-19. Kemudian, bukti kelulusan pembelajaran dikembalikan pada rapor per semester, sikap peserta didik, dan mengikuti ujian yang diselenggarakan satuan pendidikan.
Advertisement
Artinya, lulus atau tidaknya seorang peserta didik dikembalikan pada pihak sekolah untuk menentukannya. Tak ada lagi standar dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendikbud, yang menjadi dasar untuk menentukan kelulusan seorang peserta didik. Hal ini pun mengundang perdebatan.
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi, misalnya, mengaku tidak setuju kalau penentuan kelulusan itu diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah. Mestinya, menurut dia, tetap ada standar atau panduan terkait dengan penentuan kelulusan itu.
"Seharusnya kita yang sedang menyelesaikan masalah jangan sampai menimbulkan masalah baru. Di mana pun di seluruh dunia harus ada standarnya. Standarnya bukan lagi nilai akademik seperti UN, tetapi standart of learning yang akan diukur," ujar Unifah kepada Liputan6.com, Jumat (5/2/2021).
Standar ini, lanjut dia, nantinya akan menjadi pegangan bagi guru satuan pendidikan dan daerah untuk meluluskan siswa. Artinya, Kemendikbud menyerahkan semua tugas ini kepada guru. Hal ini berpotensi membuat para guru dijadikan sebagai kambing hitam atas buruknya mutu pendidikan.
"Ini kan kebijakan terserah, apa-apa terserah. Nanti gampang sekali melempar kesalahannya kepada guru kalau mutunya jelek. Jadi tidak ada lagi yang lebih mudah disalahkan kecuali guru," ujar Unifah.
Dia mencontohkan soal proses portofolio sebagai salah satu opsi pengganti UN tahun ini serta istilah pembelajaran yang sudah selesai sebagai syarat kelulusan yang menurutnya masih sumir.
Portfolio dalam dunia pendidikan adalah sekumpulan informasi pribadi yang merupakan catatan dan dokumentasi atas pencapaian prestasi seseorang dalam pendidikannya.
Ada beraneka portfolio mulai dari rapor, ijasah hingga dokumen-dokumen lainnya seperti sertifikat, piagam penghargaan, dan lain-lain sebagai bukti pencapaian hasil atas suatu pendidikan atau kursus.
"Bayangkan bagaimana pemahaman portofolio di sekolah yang ada di Jakarta dengan portofolio daerah lain yang masih jauh. Jadi, tetap harus ada guidance yang menunjukkan pada tahap inilah anak-anak lulus. Bukan sekadar ingin menyenangkan peserta didik, bahwa tidak usah UN, tapi bagaimana membuat anak-anak menyadari bahwa akan ada tantangan berikutnya untuk survive dan belajar. Sehingga ketika siswa lulus ada patokannya, karena ini karena itu," tegas Unifah.
Apalagi, lanjut dia, dengan adanya pandemi Covid-19 sepanjang tahun lalu telah membuat mutu pendidikan serta lulusan lembaga pendidikan kita jadi menurun. Hal itu bisa dimaklumi karena pembelajaran yang dilakukan selama pandemi tidak berjalan efektif.
"Karena itu, belajar dari kekurangan yang lalu, kita harus membuat standar pencapaian hasil yang harus jelas indikatornya. Misal, walaupun pembelajaran dengan sistem daring, apa yang sudah dicapai? Mungkin kelihatannya sekarang senang, tapi efeknya nanti saat memasuki dunia kerja, mereka akan menghadapi tantangan," papar Unifah.
Kendati demikian, dia menyambut baik penghapusan UN yang sudah dicetuskan sejak 2019 dan akhirnya dipercepat karena pandemi. Namun begitu, dia mengatakan kebijakan untuk meniadakan UN tahun ini mestinya bisa lahir dalam produk hukum yang lebih kuat, seperti Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atau Permendikbud.
"Seharusnya penghapusan tidak boleh dengan hanya surat edaran, ada problem hukum kekuatan pelaksanaan di bawah. Karena itu paling tidak buatlah Permendikbud-nya sebagai sebuah dasar, sebuah kebijakan besar yang menentukan masa depan anak-anak kita," Unifah memungkasi.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf memahami peniadaan UN sebagai format kelulusan siswa sebagai langkah yang tepat. Alasannya, tanpa UN berarti Kemendikbud tak perlu memaksakan penerapan standar ke seluruh sekolah yang ada.
"Sering didengar bagaimana siswa dibantu agar mendapat nilai baik, supaya standar sekolah naik.
Padahal, dengan UN kita menjadi tidak punya data akurat tentang kondisi per sekolah di tiap jengjang pendidikan, karena sifatnya hanya laporan saja," ujar Dede kepada Liputan6.com, Jumat (5/2/2021).
Karena itu, dia mendukung jika syarat utama kelulusan siswa dikembalikan ke sekolah masing-masing sebagaimana disyaratkan dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 1 Tahun 2021.
"Karena yang tahu kemampuan siswa atau yang dianggap tahu kapasitas anak itu adalah pihak sekolah. Tinggal bagaimana sekolah meningkatkan ujian sekolah standarnya menjadi standar nasional. Poin ini saya kira tidak ada masalah," beber Dede.
Ditambah lagi, lanjut mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini, faktor pandemi membuat ujian hanya bisa dilakukan secara lokal. Karena itu, dia meminta pihak sekolah untuk tidak memberi ujian yang diberat-beratkan. Alasannya, pandemi serta tekanan untuk lulus saja sudah membuat anak didik menjadi stres.
"Jadi tolong pihak sekolah, jangan turunkan imun anak dengan tes berlebihan. Kita saja yang dewasa WFH dan dikurangi kegiatannya supaya bisa menjaga imun. Soal rapor juga, tolong ada relaksasi nilai dan pelajaran, jangan dipaksakan, dijejelin. Saat ini fokus jangan hanya PR, tugas, ujian tapi eksplorasi siswa," tegas Dede.
Dia juga tak menampik lulusan yang dihasilkan selama pandemi ini mutunya akan mengalami penurunan dibandingkan sebelum pandemi. Namun itu dinilai sebagai hal yang lumrah sebagai dampak yang tak bisa dihindarkan.
"Pasti ada penurunan sedikit. Karena bicara pandemi, penurunan semua, penurunan ekonomi saja sudah terjadi.
Tapi, lebih baik kita mundur satu langkah daripada kita berhenti," ujar Dede.
Penurunan juga terjadi menurut politikus Partai Demokrat ini lantaran setiap sekolah menerapkan kebijakan berbeda di tiap daerah. Contoh penurunan, siswa SMK jadi tidak bisa praktik. Tapi paling tidak diberikan praktik giliran atau bergantian.
"Tentu masih banyak kekurangan di sana sini, tapi negara sedang fokus menghentikan wabah dan kita tetap harus fokus menghadirkan pendidikan yang aman selama pandemi," Dede menandaskan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kejujuran dan Kompetensi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memutuskan untuk tidak menggelar Ujian Nasional dan ujian kesetaraan tahun ini. Kelulusan siswa pun diserahkan kepada pihak sekolah untuk menentukannya, dengan sejumlah opsi yang muaranya nanti adalah penilaian dalam rapor.
Menanggapi kebijakan tersebut, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Yogyakarta mengingatkan pihak sekolah untuk memberikan penilaian yang benar-benar mencerminkan kompetensi siswa.
"Karena ujian nasional ditiadakan, maka kelulusan siswa diserahkan sepenuhnya ke sekolah, sama seperti tahun lalu. Oleh karenanya, sekolah harus bisa memberikan penilaian yang benar-benar mencerminkan kompetensi siswa," kata Kepala Disdikpora Kota Yogyakarta Budhi Asrori di Yogyakarta, Jumat (5/2/2021).
Menurut dia, pembelajaran jarak jauh yang diterapkan selama masa pandemi Covid-19 memberikan banyak tantangan kepada guru atau pendidik saat akan memberikan penilaian terhadap siswa.
Oleh karenanya, kata dia, Disdikpora Kota Yogyakarta sedang melakukan upaya guna memastikan agar nilai yang diberikan benar-benar mencerminkan kemampuan siswa yang sebenarnya.
"Ini yang sedang kami usahakan, termasuk menyusun guidance (bimbingan) untuk pelaksanaan pembelajaran jarak jauh supaya lebih efektif sehingga materi pembelajaran yang disampaikan pun bisa diterima dengan baik oleh siswa," katanya seperti dikutip Antara.
Ia mengatakan, penyerahan kelulusan oleh sekolah sudah dilaksanakan pada 2020 dengan melakukan penilaian dari tugas, ulangan hingga evaluasi rapor sekolah dan karakter siswa.
"Tahun lalu sekolah masih melakukan ujian sekolah dengan sistem daring termasuk ujian yang digelar serentak untuk mata pelajaran tertentu. Pada tahun ini pun, ujian sekolah masih dimungkinkan. Bisa tetap menjadi opsi untuk menjadi bagian dari penilaian," katanya.
Sedangkan terkait penerimaan peserta didik baru (PPDB), Budhi mengatakan masih harus berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY termasuk instansi terkait di kabupaten.
"Kami koordinasikan lagi. Harapannya, parameter seleksi untuk penerimaan siswa baru adalah seleksi yang terukur objektif dan dapat dipertanggungjawabkan," katanya.
Ia berharap, parameter persyaratan untuk seleski siswa baru antar kabupaten dan kota di DIY setidaknya sama atau tidak berbeda terlalu jauh.
"Jika parameter seleksinya berbeda jauh, maka bisa menimbulkan masalah. Apalagi batas wilayah antar kota dan kabupaten di DIY hampir tidak kelihatan. Ada siswa dari Sleman, Bantul dan kabupaten lain yang bersekolah di Kota Yogyakarta begitu pula sebaliknya," demikian Budhi Asrori.
Advertisement
Kembali ke Rapor
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meniadakan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dan ujian kesetaraan tahun 2021 atas pertimbangan pandemi Covid-19 yang masih terus meningkat. Sebagai gantinya, kelulusan siswa bisa ditentukan dari nilai rapor.
"Ujian Nasional (UN) dan ujian kesetaraan tahun 2021 ditiadakan," tulis Surat Edaran Mendikbud No. 1 Tahun 2021 tertanggal 1 Februari 2021.
Untuk diketahui, UN sudah ditiadakan sejak tahun 2020 karena pandemi Covid-19. Dan, wacananya, UN akan diganti Asesmen Nasional (AN) pada tahun 2021. Namun, belakangan Mendikbud Nadiem Makarim memundurkan jadwal AN itu hingga September, yang berarti tak ada ujian yang digelar secara nasional di tahun ajaran ini.
Atas keputusan itu, surat edaran tersebut menegaskan UN dan ujian kesetaraan tidak akan menjadi syarat kelulusan atau seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dalam poin ketiga SE Mendikbud, disebutkan 3 poin yang menentukan apakah siswa dinyatakan lulusan dari satuan atau program pendidikan. Dijelaskan, peserta didik dinyatakan lulus dari satuan atau program pendidikan setelah:
1. Menyelesaikan program pembelajaran di masa pandemi Covid-19 yang dibuktikan dengan rapor tiap semester.
2. Memperoleh nilai sikap atau perilaku minimal baik.
3. Mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan.
Dengan dihapusnya UN dan ujian kesetaraan 2021, Kemendikbud memberikan sejumlah opsi pengganti UN 2021 sebagai syarat kelulusan bagi siswa tingkat akhir. Pengganti Ujian Nasional 2021 ini dilakukan sesuai kebijakan dari masing-masing satuan pendidikan.
Berikut 4 opsi pengganti UN 2021:
1. Portofolio berupa evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap/perilaku, dan prestasi yang diperoleh sebelumnya (penghargaan, hasil perlombaan, dan sebagainya).
2. Penugasan.
3. Tes secara luring atau daring.
4. Bentuk kegiatan penilaian lain yang ditetapkan oleh satuan pendidikan.
Ketentuan yang sama berlaku bagi lulusan Paket A, B dan C. Dengan catatan jika memilih ujian sekolah berupa tes, harus dilaksanakan oleh satuan pendidikan yang diakui sebagai penyetaraan lulusan.
Peserta ujian juga harus terdaftar sebagai peserta ujian pendidikan kesetaraan pada data pokok pendidikan (Dapodik) dan menginput hasil ujiannya.
Untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), kelulusan juga dapat ditentukan melalui uji kompetensi keahlian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 sampai dengan angka 8 dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan," tulis surat tersebut.
Sementara, untuk kenaikan kelas dilaksanakan dengan ketentuan, bagi siswa yang mengikuti ujian akhir semester untuk kenaikan kelas dapat dilakukan dalam bentuk yang sama dengan opsi pengganti UN, yaitu:
1. Portofolio berupa evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap/perilaku, dan prestasi yang diperoleh sebelumnya (penghargaan, hasil perlombaan, dan sebagainya).
2. Penugasan.
3. Tes secara luring atau daring.
4. Bentuk kegiatan penilaian lain yang ditetapkan oleh satuan pendidikan.
Sebelumnya, Kemendikbud telah menyosialisasikan Asesmen Nasional sebagai pengganti Ujian Nasional pada 2021. Asesmen Nasional merupakan program penilaian terhadap mutu setiap sekolah, madrasah, dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mengatakan, perubahan mendasar pada Asesmen Nasional adalah tidak lagi mengevaluasi capaian peserta didik secara individu, akan tetapi mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) Kemendikbud menerangkan sejumlah perbedaan antara Asesmen Nasional 2021 dengan Ujian Nasional (UN).
Mutu satuan pendidikan nantinya dinilai berdasarkan hasil belajar murid yang mendasar yakni kemampuan literasi, numerasi, dan karakter, serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran.
Dijelaskan, Asesmen Nasional terdiri dari tiga instrumen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter (SK), dan Survei Lingkungan Belajar.
Asesmen Nasional tidak menggantikan peran UN dalam mengevaluasi prestasi atau hasil belajar murid secara individual. Melainkan menggantikan peran UN sebagai sumber informasi untuk memetakan dan mengevaluasi mutu sistem pendidikan.
Sebagai alat untuk mengevaluasi mutu sistem, Asesmen Nasional akan menghasilkan potret yang lebih utuh tentang kualitas hasil belajar serta proses pembelajaran di sekolah.
Laporan hasil Asesmen Nasional akan dirancang untuk menjadi cermin atau umpan balik yang berguna bagi sekolah dan Dinas Pendidikan dalam proses evaluasi diri dan perencanaan program.