Epidemiolog Ungkap Penyebab Angka Kematian Covid-19 RI Tinggi

Pemerintah diminta tidak menyalahkan masyarakat dan lebih mengintrospeksi diri terhadap kebijakan yang dibuat.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Mar 2021, 13:14 WIB
Diterbitkan 03 Mar 2021, 13:08 WIB
Lahan Makam Covid-19 di TPU Bambu Apus Penuh
Petugas menggunakan kendaraan alat berat di sekitar kompleks pemakaman protokol Covid-19, Jakarta, Selasa (2/3/2021). TPU Bambu Apus kini tidak lagi menampung pemakaman jenazah protokol Covid-19 akibat lahan di dua blok sudah penuh dan dialihkan ke TPU Srengseng Sawah. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Satgas Penanganan Covid-19 melaporkan bahwa bahwa kasus kematian Covid-19 meningkat 74,80 persen pada periode 22-28 Februari 2021. Berdasarkan data yang dipaparkan Satgas Covid-19, lima provinsi yang menyumbang kasus kematian tertinggi, yakni Jawa Tengah naik 410 kasus, Jawa Barat naik 117, Jawa Timur naik 73, Nusa Tenggara Timur naik 40 dan Sumatera Selatan naik 14 kasus.

Epidemiolog Universitas Airlangga, Windu Purnomo mengatakan bahwa tingginya angka kematian akibat covid-19 di setiap provinsi disebabkan oleh angka kesakitan yang tinggi pula. Angka kematian ini erat kaitannya dengan 3T yaitu testing, tracing, dan treatment.

Dia melihat, sudah dari jauh hari, banyak lembaga penelitian luar negeri yang melayangkan data bahwa jumlah testing dan tracing di Indonesia masih kurang dari standar yang ditetapkan World Health Organization (WHO).

Namun menurutnya, pemerintah bersikap menutup telinga, seakan tidak mau mendengarkan saran dari pihak luar dan malah melakukan berbagai upaya pembelaan diri.

“Lembaga luar negeri mengatakan bahwa testing dan tracing kita rendah. kita bukannya meningkatkan testing dan tracing, malah cari pembenaran dengan bilang jumlah penduduk Indonesia banyak. Lihat India dan Amerika, sekarang tren kasus positif dan kematiannya menurun. Itu karena 3T, testing-nya tinggi,” kata Windu kepada merdeka.com, (3/3).

Sehingga kata dia, kunci utama menekan angka kematian di provinsi yang masih tinggi kasusnya, yakni dengan menggencarkan 3T. Menurutnya, para ahli sudah kerap kali menyarankan hal ini, namun pemerintah juga seringkali menyalahkan masyarakat.

"Susah katanya mengatur masyarakat Indonesia karena terlalu banyak, masyarakat yang dibilang tidak patuh lah. Padahal kalau ada yang salah, harus dibenarkan. Jangan cari pembenaran," ujarnya.

Selain itu dia juga menyadari, salah satu penyebab meningkatnya kasus positif yang beriringan dengan angka kematian disebabkan karena kepatuhan masyarakat terhadap penerapan protokol kesehatan berkurang, namun kata dia, dalam hal ini masyarakat tidak sepenuhnya salah.

 

 

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pemerintah Lebih Introspeksi Diri

Dia pun berharap pemerintah tidak menyalahkan masyarakat dan lebih mengintrospeksi diri terhadap kebijakan yang dibuat. Karena kata dia, masyarakat hanya mengikuti kebijakan atau aturan yang berlaku di negara ini.

"Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat terus. Mereka itu butuh keteladanan dan motivasi. Kalau para tokoh tidak memberikan teladan, mereka juga akan makin memburuk tingkat kepatuhannya," kata dia.

Menurutnya, pemerintah harus juga mau mendengarkan dan menerima masukan dari para expert, sekalipun masukan itu datang dari para ahli/ lembaga penelitian luar negeri.

Seperti yang diketahui, sejak 15 Maret 2020, angka kematian atau fatality rate Indonesia sudah tinggi, mencapai 4,8 persen atau menempati urutan keempat berdasarkan data John Hopkins University. Dari 142 negara, pada periode itu, Indonesia telah menempati urutan ke-35 kasus positif terbanyak.

“Harusnya setelah setahun pandemi, pemerintah mau mengevaluasi diri dan menerima evaluasi dari ahli dan lembaga independen. Baik dari dalam atau luar negeri,” tutupnya.

Reporter: Rifa Yusya Adilah

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya