6 Tanggapan Pengamat hingga Stafsus soal Pengecatan Pesawat Kepresidenan

Pengecatan pesawat Kepresidenan yang diputuskan dilakukan oleh pemerintah menuai polemik pro kontra di masyarakat.

oleh Devira PrastiwiLiputan6.com diperbarui 04 Agu 2021, 20:00 WIB
Diterbitkan 04 Agu 2021, 20:00 WIB
Penyambutan Kedatangan Pesawat Kepresidenan BBJ-2 di Baseops Lanud Halim_20140410
Pesawat terbaru kepresidenan BBJ-2 tiba di Baseops Lanud Halim, Jakarta Timur, Kamis (10/4). (Liputan6.com/Andrian Martinus Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Pengecatan pesawat Kepresidenan yang diputuskan dilakukan oleh pemerintah menuai polemik pro kontra di masyarakat.

Hal tersebut lantaran bukanlah suatu hal yang urgensi untuk dilakukan pengecatan pesawat Kepresidenan di tengah pandemi Covid-19.

Penilaian itu salah satunya disampaikan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah.

Piter lebih melihat bagaimana pemerintah melaksanakan tugasnya dalam penanganan pandemi Covid-19.

"Pengecatan pesawat bukan hal yang penting, membahasnya juga tidak penting. Saya Lebih memilih melihat bagaimana pemerintah melaksanakan tugas pokoknya, bagaimana penanggulangan pandemi dan bagaimana penyaluran bantuan kepada masyarakat, kata Piter kepada Liputan6.com, Rabu (4/8/2021).

Namun pernyataan itu berbeda dengan yang disampaikan politikus PDI Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan.

Arteria meminta publik melihat sisi lain dari polemik pengecatan pesawat Kepresidenan Republik Indonesia (RI) dari warna biru menjadi warna merah putih yang merupakan warna bendera nasional Indonesia.

Berikut sederet tanggapan dari pengamat hingga politikus soal pengecatan pesawat Kepresidenan dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pengamat Penerbangan

Penyambutan Kedatangan Pesawat Kepresidenan BBJ-2 di Baseops Lanud Halim_20140410
Pesawat terbaru kepresidenan BBJ-2 tiba di Baseops Lanud Halim, Jakarta Timur, Kamis (10/4). (Liputan6.com/Andrian Martinus Tunay)

Pengecatan ulang pesawat Kepresidenan menuai kritik publik. Pengecatan ulang itu dinilai memakan biaya besar, terlebih di saat keuangan negara tengah tengah terpuruk akibat pandemi Covid-19.

Menurut Pengamat Penerbangan Alvin Lie, biaya cat ulang pesawat jenis B737-800 berkisar antara USD 100 ribu hingga USD 150 ribu, atau setara Rp 1,4 miliar hingga Rp 2,1 miliar.

"Biaya cat ulang saya merujuk pada biaya yang umumnya berlaku untuk pengecatan ulang pesawat B737-800 penerbangan sipil," kata Alvin kepada merdeka.com, Selasa 3 Agustus 2021.

Dia menjelaskan terdapat dua metoda pengecatan ulang. Pertama yaitu sanding yaitu cat lama diamplas hingga hilang warnanya, tinggal primer dasar, kemudian dicat dengan warna dan pola baru. Lalu stripping yaitu cat lama dikupas total hingga ke kulit pesawat (bare metal) kemudian dicat ulang.

"Yang lazim dilakukan adalah metoda Sanding. Biaya berkisar USD100ribu per pasawat," ungkap Alvin.

Alvin pun menyayangkan pengecatan pesawat tersebut di saat negara sedang menghadapi pandemi dan krisis ekonomi.

Pemerintah seharusnya menunjukkan sense of crisis. Hal-hal yang bukan kebutuhan mendesak perlu ditangguhkan.

"Cat ulang dan ubah warna pesawat bukan kebutuhan mendesak. Pesawat Kepresidenan usianya baru 7 tahun. Jarang dipakai. Perawatan bagus, penampilan juga masih layak. Tidak ada urgensi dicat ulang atau ubah warna," ungkap dia.

"Anggaran difokuskan pada penggulangan pandemi. Ingat, tunjangan dan insentif ASN dan anggaran berbagai Lembaga dan Kementerian dipangkas untuk refocusing Anggaran," tambahnya.

 

Ekonom

Pesawat kepresidenan
Pesawat kepresidenan (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Senada, hal serupa disampaikan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah. Dia menilai, pengecatan pesawat bukan hal yang penting.

Dia lebih melihat bagaimana Pemerintah melaksanakan tugasnya dalam penanganan pandemi Covid-19.

"Pengecatan pesawat bukan hal yang penting, membahasnya juga tidak penting. Saya Lebih memilih melihat bagaimana pemerintah melaksanakan tugas pokoknya, bagaimana penanggulangan pandemi dan bagaimana penyaluran bantuan kepada masyarakat," kata Piter kepada Liputan6.com, Rabu (4/8/2021).

Lebih lanjut, jika ditanya etis tidaknya pengecatan pesawat kepresidenan tersebut, maka akan banyak sekali permasalahan yang muncul. Namun yang penting semua berjalan sesuai tugas dan arahan Presiden.

"Kalau Kita bahas etis tidak etis, nanti akan banyak sekali (yang dipermasalahkan). Misalnya Pak Menteri Masih dapat tunjangan, etis tidak etis? Kenapa tidak semuanya disumbangkan untuk bantu masyarakat miskin. Masing-masing ada yang bertanggungjawab, apakah para pejabat tersebut melaksanakan arahan presiden secara optimal," papar Piter.

 

Kritik PKS

pesawat kepresidenan
Presiden Joko Widodo bertolak menuju Malaysia menggunakan pesawat kepresidenan di Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Minggu (26/4/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera angkat bicara soal pengecatan pesawat Kepresidenan.

Mardani menyebut, pengecatan pesawat kepresidenan dari semula biru menjadi merah-putih itu bukanlah program prioritas di tengah masa sulit pandemi Covid-19.

"Keuangan negara saat ini tengah terpuruk karena pandemi. Semua anggaran fokus untuk penanganan Covid-19. Mengecat pesawat tidak prioritas saat ini," kata Mardani saat dikonfirmasi.

Mardani menyebut Komisi II sebagai mitra kerja Setneg, akan segera meminta penjelasan Setneg Soal urgensi pengecatan ulang pesawat kepresidenan yang disebut menghabiskam miliaran rupiah itu.

"Kami di Komisi II akan mendalami fakta ini dalam RDP yang akan datang. Sudah jadi isu publik jadi wajib dijelaskan," tegas Mardani.

 

Demokrat Sindir

Pesawat kepresidenan
Pesawat kepresidenan (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Partai Demokrat mempertanyakan keseriusan dan prioritas pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Juru Bicara DPP PD Herzaky Mahendra Putra menyatakan, keputusan mengecat pesawat Kepresidenan di saat situasi sulit adalah bukti pemerintah tak tahu prioritas.

"Apakah penting dan prioritas mengecat pesawat kepresidenan saat ini? Apakah kalau tidak dicat saat ini, membahayakan nyawa presiden saat memakai? Anggaran terbatas, banyak utang, tapi malah memilih mengecat pesawat presiden daripada menambah stok oksigen atau stok vaksin gratis yang sangat bermanfaat untuk menyelamatkan sebanyak mungkin rakyat Indonesia," kata Herzaky dalam keterangannya.

Demokrat menilai, selama tidak urgen dan membahayakan presiden, maka penegecatan bisa ditunda dan anggaran digunakan untuk penanganan Covid-19.

"Jadi, masukan kader kami terkait warna itu masukan halus saja. Esensi sebenarnya adalah kalau tidak membahayakan nyawa presiden saat memakai, mengapa perlu mengecat pesawat sekarang? Kan jauh lebih baik fokuskan semua anggaran yang tidak penting, untuk penyelamatan nyawa rakyat Indonesia dulu di tengah kepungan pandemi Covid-19," katanya.

Anggaran untuk pengecatan menurut Demokrat jauh lebih baik digunakan untuk nakes atau stok vaksin.

"Pemerintah kan anggarannya terbatas. Utangnya juga luar biasa. Daripada buat cat pesawat, lebih baik uang miliaran itu dipakai buat nambah stok oksigen, stok vaksin gratis, bahkan insentif untuk nakes yang tertunda terus pembayarannya. Jangan sibuk buat proyek-proyek yang tidak ada kaitan dengan penanganan pandemi saat ini," terangnya.

"Kalau alasannya semua sudah dianggarkan sejak 2019, semakin menunjukkan pemerintahan saat ini tidak punya prioritas dan punya road map jelas dalam menangani pandemi Covid-19," tambahnya.

Herzaky meminta pemerintah lebih menunjukkan simpati dan empati di saat rakyat tengah terpuruk akibat lonjakan kasus Corona.

"Pemerintah tunjukkan punya sensitivitas dan empati terhadap rakyat Indonesia yang kehilangan nyawa keluarganya karena Covid-19. Stop buat program yang tidak ada relevansinya dengan penanganan Covid-19, apalagi sampai terkesan ada yang mencari untung di tengah pandemi. Mari fokus selamatkan nyawa rakyat dari bahaya pandemi," pungkas Herzaky.

 

Sikap PDIP

Pesawat Kepresidenan Dicat Ulang Jadi Warna Merah/dok. Wikipedia
Pesawat Kepresidenan Dicat Ulang Jadi Warna Merah/dok. Wikipedia

Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan meminta publik melihat sisi lain dari polemik pengecatan pesawat Kepresidenan Republik Indonesia (RI) dari warna biru menjadi warna merah putih yang merupakan warna bendera nasional Indonesia.

"Jangan sampai publik terbawa permainan politik pihak-pihak yang merasakan post colour syndrome, yang merupakan pelesetan dari postpower syndrome atau sindrom pascakekuasan yang terjadi karena tak bisa melepaskan diri dari kekuasaan yang sudah hilang," kata Arteria dalam keterangannya, Rabu (4/8/2021).

Menurut Arteria, tak ada yang salah dengan pengecatan pesawat Kepresidenan menjadi warna merah putih. Ia justru mempertanyakan alasan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengecat menjadi biru.

"Warna bendera negara kita kan merah putih, bukan warna biru. Justru kita bertanya, kok dulu tak sejak awal pesawat itu diwarnai merah putih? Lalu apa yang salah dengan warna pesawat Kepresidenan jika diubah menjadi merah putih sesuai warna bendera negara kita?" tutur Arteria.

Dia memberikan sejumlah catatan. Pertama, pengecatan sudah direncanakan pada tahun 2019. Dan merupakan satu paket pengerjaan pengecatan dengan Heli Kepresidenan Super Puma yang lebih dulu dikerjakan.

"Kalau terkait anggaran, kita inikan negara hukum dan ada prosedur administrasi hukum yang telah dilalui dan bahkan disetujui oleh Partai Demokrat. Tentu saja anggaran untuk pengerjaan ini sudah dibahas dengan DPR, dan disetujui tahun 2019. Aneh saja kalau sekarang ada anggota DPR atau parpol di DPR yang mengkritiknya. Lah dulu saat dibahas, kenapa tak ditolak," kata Arteria.

Kedua, ia meminta publik memahami bahwa pengecatan itu dilakukan oleh kontraktor yang dibayar Pemerintah. Dan kontraktor memperkerjakan warga negara Indonesia yang menurutnya sama saja menggerakkan perekonomian rakyat lewat pekerjaan pengecatan itu.

"Anggaran negara itu merupakan satu cara untuk menggerakkan perekonomian. Justru di saat pandemi dimana perekonomian susah, sangat baik ketika negara menggerakkan ekonomi masyarakat lewat anggaran yang riil begini," ujarnya.

Ketiga, jika ada pihak yang mengkritik bahkan memprovokasi bahwa seharusnya anggaran pengecatan ini untuk membeli beras untuk rakyat, Arteria mempertanyakan pengetahuan yang bersangkutan.

"Jadi dana Covid sudah disiapkan oleh Pemerintah dan tak diganggu. Terkecuali dana Covid tak disiapkan, bolehlah ada yang marah-marah," kata Arteria.

"Mari berhati-hati dengan yang post power syndrome. Mungkin saja ini nanti jadinya post colour syndrome hanya karena tak bisa menerima bahwa warna pesawat Lepresidenan tak lagi sama dengan warna bendera partainya," tandas dia.

 

Stafsus Mensesneg

Jokowi Berangkat ke Provinsi Lampung
Presiden Joko Widodo membalas hormat sebelum memasuki pesawat kepresidenan di Lanud Halim Perdanakusuma, Minggu (21/1). Jokowi bertolak ke Provinsi Lampung antara lain dalam rangka peresmian ruas Jalan Tol Trans Sumatera. (Foto: Biro Pers Setpres)

Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Stafsus Mensesneg), Faldo Maldini mengatakan bahwa rencana pengecatan pesawat Kepresidenan RI sudah dimulai sejak 2019.

Menurut dia, biaya pengecatan pesawat yang mencapai Rp 2 miliar pun sudah dianggarkan di APBN.

Faldo memastikan saat ini anggaran pemerintah sudah difokuskan untuk penanganan pandemi Covid-19. Hal ini sebagaimana aturan dari Kementerian Keuangan.

"Anggaran saat ini sudah fokus pada pandemi, sesuai dengan aturan dan ketentuan Kementerian Keuangan. Rencana ini tentunya sudah ada juga di dalam APBN, jadi ya harus dilaksanakan," kata Faldo kepada wartawan.

Dia menjelaskan pengecatan pesawat Kepresidenan-1 menjadi warna merah dan putih direncanakan dilakukan pada 2019 untuk menyambut HUT ke-75 Kemerdekaan Indonesia tahun 2020.

Namun, pesawat BBJ 2 itu baru bisa dilakukan perawatan pada 2021 sesuai dengan rekomendasi pabrik.

"Tadinya, itu satu paket sama beberapa armada lain yang sudah datang waktunya. Sekalian dicat, justru biar lebih efisien," jelasnya.

Adapun pengecatan dan perawatan pesawat Kepresidenan-1 ini dilakukan di dalam negeri. Faldo mengatakan belanja pemerintah dapat mendorong geliat sektor usaha di masa pandemi Covid-19.

"Apalagi industri penerbangan, yang sangat terdampak pandemi. Naik pesawat sekarang, kan tidak semudah dulu lagi, jadi melambat itu semua, dari hulu sampai hilir," tegas Faldo.

 

(Cindy Violeta Layan)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya