Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) lebih progresif dan memberikan ruang pada penggunaan obat-obatan yang ditengarai juga bisa dipakai untuk Covid-19. Menurut Melki, pandemi Covid-19 saat ini adalah situasi darurat, yang berbeda dengan situasi normal, sehingga perlu adanya langkah progresif.
"Pola penanganan penggunaan obat-obatan yang dilakukan BPOM sekarang ini harus progresif. Kaidah keilmuan dan ketentuan tetap bisa dipakai namun pada saat yang sama juga harus diberikan ruang bagi penggunaan obat-obatan seperti Ivermectin dan lainnya yang lebih terbuka," katanya, Senin (30/8/2021).
Baca Juga
Mengenai hubungan BPOM dengan perusahaan farmasi dalam negeri baik BUMN ataupun swasta, Melki mengatakan DPR tentu mendorong agar BPOM juga menjadi bagian dari pelaksanaan Inpres Nomor 6 Tahun 2016.
Advertisement
"Inpres ini oleh Pak Joko Widodo dimaksudkan untuk mempercepat produksi obat dan alkes dalam negeri. Dan dalam kaitan dengan obat, kita mendorong BPOM agar betul-betul membantu, mendampingi, memfasilitasi agar obat-obatan dalam negeri bisa dihasilkan terutama dalam masa pandemi saat ini," ujar Melki yang merupakan anggota DPR RI dari daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Timur ini.
Menurutnya, hal ini sangat penting agar produk-produk obat dalam negeri yang bermutu, berkasiat, aman, dapat didampingi oleh BPOM sehingga bisa segera dihasilkan dan dipakai agar industri farmasi dalam negeri bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
"Industri obat dalam negeri harus kita dorong kuat sehingga kita tidak selalu bergantung pada obat-obatan impor. Ini tentu membantu kita dalam kemandirian di sektor kesehatan terutama di sektor farmasi," tuturnya.
Efek Samping Obat Covid-19
Beragam obat-obatan dipakai untuk mengatasi pandemi Covid-19 yang telah menelan korban jutaan orang di seluruh dunia. Dari berbagai obat yang ada, tiga obat yakni Ivermectin, Favipiravir, dam Remdesivir paling banyak dipakai karena dianggap paling ampuh melawan virus corona.
Meski ampuh melawan virus corona, bukan berarti penggunaan obat ini tanpa efek samping. Berikut ini efek samping dari masing-masing obat yang dirangkum dari berbagai sumber dan referensi:
1. Ivermectin
Obat ini pertama kali ditemukan pada akhir tahun 1970, turunan dihidro dari Avermectin. Berasal hanya dari satu mikroorganisme yang diisolasi di Kitasato Institute, Tokyo, Jepang. Obat ini memiliki dampak yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan miliaran orang di seluruh dunia.
Awalnya diperkenalkan sebagai obat untuk hewan, membunuh berbagai parasit internal dan eksternal pada ternak komersial dan hewan pendamping. Namun dalam perkembangannya obat ini juga telah digunakan dan berhasil mengatasi beberapa penyakit manusia lainnya.
Cara kerja Ivermectin, pada pemberian secara oral, Ivermectin dapat mencapai konsentrasi plasma proporsional terhadap dosis. Konsentrasi puncak Ivermectin adalah sebesar 30 - 46 ng/ml dan tercapai 4 jam setelah pemberian, kemudian menurun secara perlahan setelahnya.
Ivermectin ini dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui feses 98 persen dan urine 1 persen. Waktu paruh Ivermectin 12 jam sedangkan waktu paruh metabolismenya sekitar 3 hari. Efek samping dari Ivermectin antara lain konstipasi 0,9 persen, diare 1,8 persen, muntah 1,8 persen, pusing 2,8 persen, mengantuk 0,9 persen, gatal-gatal 0,9 persen.
2. Favipiravir
Favipirafir adalah obat antivirus yang dikembangkan oleh Toyama Chemical. Favipiravir per-oral diabsorpsi melalui mukosa usus dan mencapai konsentrasi puncak di plasma dalam waktu 2 jam, kadarnya menurun secara cepat dengan paruh waktu 2 - 5,5 jam.
Favipiravir dimetabolisme di hati dengan bantuan enzim aldehid dan diekskresikan di ginjal. Efek samping Favipirafir antara lain peningkatan nilai SGPT, SGOT, 1 persen (seringkali dikaitkan dengan gangguan fungsi hati), kadar asam urat meningkat, gangguan saluran cerna, diare 4,79 persen, gangguan metabolik 4,79 persen, penurunan produksi sel darah 1 persen, asma nyeri orofaringeal 0,5 persen, gatal-gatal, eksim kurang dari 1 persen.
3. Remdesivir
Efek yang tidak diinginkan dari penggunaan remdesivir bisa terjadi pada berbagai organ. Dari data non klinik, terdapat risiko rendah untuk terjadinya efek samping pada susunan saraf pusat, pernapasan, dan kardiovaskular pada perkiraan kadar terapi untuk manusia.
Suatu penelitian klinis pada kasus Covid-19 meneliti mengenai penggunaan remdesivir selama 10 hari dengan dosis 200 mg intravena pada hari pertama, dilanjutkan dengan dosis 100 mg intravena selama 9 hari setelahnya.
Penelitian tersebut mendapatkan bahwa dari 53 subjek terdapat 32 subjek yang mengalami efek samping, dan lebih sering terjadi pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik. Sebanyak 12 subjek (23 persen) mengalami efek samping serius, seperti multiple organ dysfunction syndrome, syok sepsis, cedera ginjal akut, dan hipotensi.
Advertisement