Liputan6.com, Jakarta - Polisi menangkap dua pemodal pabrik obat keras ilegal di Yogyakarta pada Jumat, 1 Oktober 2021. Operasi tersebut merupakan pengembangan dari kasus temuan peredaran obat tanpa izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di berbagai wilayah beberapa waktu lalu.
Dirtipid Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Krisno Halomoan Siregar menyampaikan, pemodal merupakan pihak yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari bisnis obat keras ilegal tersebut. Adapun keduanya berinisial S alias C dan EY.
Baca Juga
"DPO berinisial EY yang merupakan pengendali dan yang berkomunikasi intens dengan Joko selaku pemilik pabrik," tutur Krisno kepada wartawan, Selasa (5/10/2021).
Advertisement
Menurut Krisno, total sudah ada 17 tersangka yang ditangkap dalam operasi tersebut. Kini penyidik terus bekerja menuntaskan perkara pokok dan menelusuri dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Jadi arahnya memang ke sana (TPPU) dan masih dalam proses pendalaman," kata Krisno.
Sebelumnya, polisi menggelar operasi dengan sandi Anti Pil Koplo 2021 dalam rangka menjaring para produsen sekaligus pengedar obat-obatan keras dan berbahaya ilegal tanpa izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Hasilnya, petugas mengungkap dua pabrik obat keras di Yogyakarta.
Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto menyampaikan, pengungkapan tersebut berawal ketika tim melakukan penyelidikan terkait dugaan jual beli obat keras di kawasan Cirebon, Indramayu, Majalengka, Bekasi Jawa Barat, dan Jakarta Timur, pada 13 September-15 September 2021. Dari kasus tersebut, delapan tersangka ditangkap.
"Dari pengungkapan di atas didapat petunjuk bahwa obat-obatan ilegal yang disita berasal dari Yogyakarta," tutur Agus kepada wartawan, Senin (27/9/2021).
2 Pabrik
Menurut Agus, tim langsung melakukan pengembangan ke wilayah Yogyakarta hingga pada 21 September 2021, ditemukan sebuah gudang obat keras di Jalan PGRI I Sonosewu No 158 Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Adapun tersangka yang ditangkap berinisial WZ.
"Diduga sebagai Mega Cland Lab untuk produksi obat-obatan keras di mana ditemukan mesin-mesin produksi obat, berbagai jenis bahan kimia atau prekursor obat, obat-obatan keras jenis Hexymer, Trihex, DMP, double L, Irgaphan 200 mg yang sudah di-packing dan siap kirim, adonan atau campuran berbagai prekursor siap diolah menjadi obat," kata Agus.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Krisno Halomoan Siregar menambahkan, tersangka WZ selaku penanggungjawab gudang kemudian mengaku sebagai bawahan LSK alias Daud. Petugas pun bergegas melakukan pencarian dan menangkap Daud selaku penerima pesanan pada 22 September 2021.
"Berdasarkan hasil interogasi Daud bahwa masih ada satu pabrik lainnya terletak di Gudang Jalan Siliwangi Ring Road Barat Pelem Gurih, Bayuraden, Gamping, Sleman, DI Yogyakarta, sehingga pada hari Rabu tanggal 22 September 2021 sekitar pukul 02.15 WIB tim gabungan melakukan penggeledahan dan menemukan pabrik pembuatan dan penyimpanan obat keras itu," jelas Krisno.
Pengembangan selanjutnya berbuah penangkapan terhadap dua tersangka lain yakni JSR alias Joko selaku pemilik pabrik dan SA yang memasok bahan baku obat keras. Sementara pemesan atas nama EY kini masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron.
Kepada petugas, para tersangka mengaku sudah menjalankan pabrik obat keras ilegal selama dua tahun. Dalam sehari pun dapat memproduksi dua juta butir obat keras.
"Modus operandinya, memproduksi obat-obat keras yang sudah dicabut izin edarnya oleh BPOM RI kemudian mengedarkan ke berbagai daerah di Indonesia dengan menggunakan jasa pengiriman barang," Krisno menandaskan.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 60 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atas perubahan Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan subside Pasal 196 dan/atau Pasal 198 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Juncto Pasal 55 KUHP, dengan ancaman pidana selama 15 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar subsider 10 tahun penjara.
Para tersangka juga dijerat Pasal 60 UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Advertisement