Komnas Perempuan Sebut Dalih Suka Sama Suka Jadi Hambatan di Kasus Kekerasan Seksual

Komnas Perempuan mengapresiasi langkah yang telah ditempuh Kemendikbudristek dengan menerbitkan Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 mengenai pencegahan dan penanganan Kekerasan seksual di kampus.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Nov 2021, 18:43 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2021, 18:43 WIB
Ilustrasi Pelecehan Pencabulan Anak
Ilustrasi Pelecehan Seksual/Pencabulan. (Freepik/Jcomp)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menilai, kekerasan seksual masih kerap terjadi karena atas dasar suka sama suka. Menurut dia, hal ini menjadi hambatan jika dibawa ke ranah hukum.

"Menyalahkan perempuan, korban, dan menempatkan kekerasan seksual sebagai tindakan suka sama suka inilah bottle neck-nya sebuah hambatan yang paling besar, selain dari tingkat substansi hukum kita punya masalah," ujar Andy Yentriyani dalam diskusi 'kampus merdeka dari kekerasan seksual', Jumat (12/11/2021).

Hal lain yang menjadi masalah, kata dia, adalah sikap dari universitasnya yang terkadang enggan menerima kenyataan di lingkungan pendidikannya terjadi tindak kekerasan seksual. Oleh karena itu, Permendikbud 30 tahun 2021 PPKS menjadi sangat penting.

"Saya mengapresiasi pasal 19 (Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021) yang menekankan jika upaya untuk menyikapi baik untuk pencegahan dan penanganan kekerasan ini tidak dilakukan maka ada sanksi bukan hanya kepada pelaku tapi lembaga itu sendiri," ucap dia.

Yentriyani menegaskan, dengan tidak memberikan sebuah penyikapan maka sama saja membiarkan impunitas. Serta, membiarkan korban harus terpuruk sendiri dan membuat korban-korban lain terus bungkam.

"Karena itu Komnas Perempuan sangat mengapresiasi langkah-langkah yang telah ditempuh Kemendikbud di bawah kepemimpinan Mas Menteri menerbitkan Permendikbud 30 tahun 2021 ini," pungkas dia.


Nadiem Makarim: Permendikbudristek 30/2021 Tak Bermaksud Legalkan Asusila

FOTO: Mendikbud - DPR Evaluasi Belajar dari Rumah hingga Kesiapan Rekrutmen Guru Honorer
Mendikbud Nadiem Makarim saat rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (16/11/2020). Rapat membahas evaluasi program belajar dari rumah terkait subsidi kuota internet serta isu-isu kesiapan rekrutmen guru honorer tahun 2021. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim merespons polemik Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang dianggap melegalkan zina. Nadiem menegaskan, peraturan tersebut tidak bermaksud melegalkan zina.

Peraturan tersebut memuat tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

"Salah satu hal yang terpenting di sini seperti ada saya mendengar sekali dari masukan berbagai macam pihak yang merasa kalau misalnya ada perkataan perkataan di dalam ini yang bisa melegalkan atau mungkin menghalalkan tindakan asusila itu, sama sekali bukan maksud dari Permen ini," kata Nadiem dalam diskusi 'kampus merdeka dari kekerasan seksual', Jumat (12/11/2021).

Nadiem menjelaskan, definisi kekerasan seperti KBBI adalah paksaan. Paksaan artinya tanpa persetujuan korban. Maka, fokus dari Permendikbudristek tersebut adalah korbannya.

"Mohon mengerti bagi banyak masyarakat ini melihat semua dari perspektif korban, jadinya kalau kita sedang merancang peraturan, kita merancang beberapa aktivitas-aktivitas perilaku yang dalam definisi kekerasan seksual yang bisa di alami korban tersebut, ini sangat penting dimengerti masyarakat," tuturnya.

Nadiem membandingkan ada banyak tindakan-tindakan di luar Permen PPKS yang berbenturan dengan norma agama maupun norma etika.

"Di sini kita tidak menulis seks bebas, plagiarisme, atau mencuri, atau berbohong, kenapa tidak masukkan? karena itu bukan dalam ruang lingkup kekerasan seksual hanya dalam ruang lingkup kekerasan seksual yang akan diatur di sini," ujar Nadiem.

 

Reporter: Muhammad Genantan

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya