Penetapan Tersangka Haris dan Fatia, Hukum Jadi Alat Pembungkam Kritik

Fickar menilai, penetapan tersangka Haris dan Fatia sebagai pembungkaman di alam demokrasi dengan menggunakan hukum sebagai instrumennya.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 20 Mar 2022, 18:14 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2022, 08:48 WIB
Menko Marves Luhut B. Pandjaitan
Menko Marves Luhut B. Pandjaitan sebelumnya melaporkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas dugaan pencemaran nama baik. (Dok Humas Sekretariat Kabinet RI)

Liputan6.com, Jakarta - Dua aktivis Indonesia, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, resmi menyandang status tersangka usai mengkritik Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, angkat suara perihal terkait.

Fickar menilai, penetapan tersangka Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti oleh Polda Metro Jaya, sebagai pembungkaman di alam demokrasi dengan menggunakan hukum sebagai instrumennya.

"Ini salah satu cara membungkam kritik, sehingga digunakan hukum sebagai alatnya," kata Fickar saat dihubungi, Minggu (20/3/2022).

Fickar memandang, penetapan status tersangka akibat kritik juga menjadi preseden bahwa banyak pejabat publik yang belum mengerti dan menghayati hakekat dan konsekuensi kedudukan mereka yang dibayar dan diberi fasilitas oleh negara dengan duit rakyat.

"Kritik itu bagian konsekuensi dari sebuah jabatan publik yang melekat, agar seseorang pejabat melakukan tugasnya dengan benar dan baik. Jadi kritik adalah komponen yang melekat pada jabatan publik," ujar dia.

Fickar menambahkan, jabatan publik adalah amanah dan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat melalui suara dalam pemilu, yang harus dipertanggungjawabkan secara sosiologis pada rakyat banyak.

Egoisme Kekuasaan

Haris Azhar Tanggapi Peran Generasi Muda Indonesia
Haris Azhar ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Oleh karena itu,, menjadi hal penting, bahwa kritik sebagai bagian pertanggungjawaban sosiologis dari jabatan publik. Dia berpendapat, pejabat publik yang menuntut rakyat menggambarkan egoisme kekuasaan.

"Juga menggambarkan pengkhianatan kepercayaan dari rakyat yang notabebe memberikan kekuasaan dan kewenangannya dan dengan miskinnya kesadarannya, sebaiknya Presiden sebagai perwakilan suara rakayat melepaskan jabatan publik sang pejabat tersebut karena mengkhianati rakyatnya sendiri," terangnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya