Usulkan Kembali ke Naskah Asli UUD 1945, Ini Solusi dari Ketua DPD RI

LaNyalla mengatakan, sistem demokrasi yang dipilih para pendiri bangsa adalah sistem terbaik untuk Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Des 2022, 18:47 WIB
Diterbitkan 13 Des 2022, 13:11 WIB
lanyalla
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, dirinya sudah mendatangi lebih dari 300 kabupaten/kota di Indonesia. Di semua tempat itu dia menemukan persoalan yang hampir sama, yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat daerah dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan.

"Sudah sering saya katakan, penyebab persoalan tersebut ada di hulu. Ada di koridor fundamental. Yaitu Konstitusi kita yang telah meninggalkan konsep yang didisain para pendiri bangsa dan telah meninggalkan Pancasila," ujar LaNyalla dalam keterangan tertulis, Selasa (13/12/2022).

Dia mengatakan, sistem demokrasi yang dipilih para pendiri bangsa adalah sistem terbaik untuk Indonesia. Karena demokrasi yang berkecukupan dan lengkap. Semua elemen ada di lembaga tertinggi, ada wakil parpol, ada wakil daerah, ada wakil golongan.

"Para pendiri bangsa sudah mengingatkan, sistem demokrasi liberal ala barat, tidak cocok untuk Indonesia. Apalagi menjabarkan ideologi individualisme dan liberalisme. Karena hanya akan memberi karpet merah bagi neoliberalisme yang berwatak kapitalis predatorik," jelas LaNyalla.

Karena membiarkan hal itu, lanjut dia, artinya kita memberi ruang bagi neo kolonialisme dalam bentuk baru. Itu artinya kita telah membegal tujuan dari lahirnya bangsa dan negara ini. Seperti tertuang dalam naskah Pembukaan Konstitusi kita.

"Saya telah sampai pada suatu kesimpulan. Bahwa bangsa ini harus kembali ke Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945. Untuk kemudian kita sempurnakan bersama kelemahannya. Dengan cara yang benar. Yaitu dengan teknik addendum. Bukan diganti total 95 persen isinya, dan menjadi Konstitusi baru," tegas LaNyalla.

Namun, lanjut dia, tiba-tiba banyak kalangan intelektual yang menuduh dirinya sedang membegal konstitusi.

"Saya pun tertawa dalam hati. Siapa sebenarnya yang membegal konstitusi kita. Dari sebelumnya menjabarkan Pancasila, menjadi menjabarkan ideologi asing?" tanya LaNyalla.

Dia juga bertanya, siapa sebenarnya yang menghilangkan Sila Keempat dari Pancasila? Siapa sebenarnya yang meninggalkan mazhab kesejahteraan sosial, sehingga oligarki ekonomi semakin membesar? Dan siapa sebenarnya yang berkontribusi merusak kohesi bangsa ini akibat Pilpres Langsung?

"Setahu saya, intelektual adalah orang yang mampu melihat keganjilan-keganjilan yang tidak pada tempatnya. Untuk kemudian menawarkan solusi. Dengan tujuan meluruskan keganjilan-keganjilan tersebut. Sehingga seorang intelektual tidak hanya berhenti melihat keganjilan saja. Karena kalau hanya melihat saja, kita akan terjebak dalam menara gading," tegas LaNyalla.

 

Bukan Kesalahan Jokowi

Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa pembangunan ternyata tidak mengentas kemiskinan, tetapi hanya menggusur orang miskin, lanjut dia, maka kita bukan intelektual. Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa platform E-commerce hanya dipenuhi produk impor, sementara anak negeri hanya menjadi penjual, maka kita bukan intelektual.

"Apakah semua paradoksal tersebut karena kesalahan Presiden Jokowi? Tentu bukan. Karena siapa pun presidennya, harus taat dan bersumpah menjalankan Konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku," jelas LaNyalla.

Dia melanjutkan, memang faktanya konstitusi kita telah berubah. Dan perubahan itu makin deras diikuti dengan lahirnya puluhan undang-undang yang tidak bermuara kepada cita-cita dan tujuan lahirnya bangsa dan negara ini.

"Pekerjaan mengembalikan Negara Indonesia untuk berdaulat, mandiri, adil dan makmur memang berat," pungkas LaNyalla.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya