Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri ESDM, Sudirman Said menyinggung pernyataan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet) soal wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal ini diungkapkan Sudirman dalam acara diskusi Ngopi dari Sebrang Istana: Merangkum 2022, Menyambut 2023 di Hotel The Akmani, Jakarta Pusat, Minggu (18/12/2022).
Diketahui, Bamsoet kembali menyinggung wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dan perpanjangan masa jabatan. Sebelumnya, hal itu disampaikan Bamsoet dalam sebuah acara rilis survei Poltracking.
Advertisement
Dimana hasil survei menyebut sebanyak 73,2 persen publik puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi dan Ma'ruf Amin.
"Ketua MPR mengatakan ini kan sekadar memancing pemikiran, memang tidak dilarang hukum tapi apakah patut menyatakan begitu? Itu kan hal-hal yang membuat masyarakat menjadi bingung," kata Sudirman.
Sudirman menyatakan tindakan-tindakan para elit berupa pernyataan ke publik mungkin diperbolehkan secara hukum, namun dia mempertanyakan kepatutan dari tindakan para elit tersebut.
Dia turut mengutip penyataan ahli etik soal empat level kehidupan yang bisa dipilih. Level paling bawah, kata dia level paling primitif atau serakah.
"Apa saja boleh tidak ada aturan. Yang men-drive kita adalah kita mau apa ya boleh dilaksanakan. Di atas itu sedikit namanya hidup dengan legalistik, asal tidak dilarang boleh dikerjakan. Di atas lagi menuju kepada persiapan semi antara legal dan etik. Yang paling atas adalah etikal life," jelas dia.
Berdasarkan hal itu, Said menyebut pejabat publik cenderung legalistik. Harusnya, kata dia pejabat publik menekankan pada segi etik atau kepatutan alih-alih mengedepankan segi legalistik atau landasan hukum.
"Pertanyaannya begini, kita mau hidup dalam ukuran boleh tidak boleh atau legalistik atau patut tidak patut?" kata Sudirman.
Ada Bahaya Besar Mengintai
Sudirman menyebut bahwa ada bahaya besar yang mengintai jika para pemimpin dan orang-orang yang punya pengaruh besar berpikir legalistik. Pasalnya, kata dia mereka bisa menciptakan hukum untuk dirinya sendiri.
"Ada bahaya besar kalau para pejabat publik pemimpin publik, para publik figur, orang-orang punya pengaruh besar itu hidup di taraf legalistik, kalau top management di mana pun, berpikir legalistik dia bisa buat hukum untuk dirinya sendiri," jelasnya.
Sudirman merangkum, ada dua kondisi yang saat ini sangat dirisaukan di Indonesia. Pertama, lanjut dia telah tercampuraduknya lingkup privat dan publik domain. Kedua, perihal kecenderungan penguasa yang hidup legalistik.
"Atau mencari-cari landasan hukum supaya niat perbuatannya itu bisa dialasi dengan hukum," kata Said.
Selain itu, Said turut mengungkit soal aturan yang membatasi calon kepala daerah yang mempunyai hubungan dengan petahana yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 silam.
"Mengintervensi MK dengan me-recall hakim konstitusi, apakah itu tindakan yang legal, tadinya tidak legal tapi kemudian diputar sedemikian rupa sehingga itu legal," ungkapnya.
Advertisement