Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan atau Menko Polhukam Mahfud Md, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, dan Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) soal transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Rabu 29 Maret 2023.
Dalam kesempatan tersebut, ada sejumlah hal yang disampaikan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana. Dia memaparkan terkait salah satu subjek terlapor transaksi mencurigakan di Kemenkeu sebesar Rp180 triliun dan Rp189 triliun.
Advertisement
Ivan menyebut, kasus transaksi janggal Rp189 triliun merupakan kasus kedua atas nama subjek yang sama dengan transaksi Rp 180 triliun. Kasus tersebut telah disampaikan PPATK ke jajaran Kemenkeu.
Advertisement
"Jadi, sebenarnya itu ialah kasus kedua atas nama subjek terlapor. Itu kami berikan 2019-2020 diproses atas nama subjek pelapor yang sama. Sebelumnya, sudah kami periksa 2017 dan mengundang Kemenkeu yang dihadiri Dirjen Bea dan Cukai, termasuk Irjen menyerahkan, menyampaikan dan mempresentasikan berkas pemeriksaan pertama," kata Ivan, Rabu 29 Maret 2023.
Dia mengatakan, sebelumnya PPATK menemukan Rp189 trilun pada pemeriksaan kedua, PPATK telah melihat subjek terlapor melakukan transaksi periode 2014-2016 menerima dana yang masuk sejumlah Rp 180 triliun lebih.
Jika menggunakan pola tindak pidana pencucian uang (TPPU), subjek terlapor melakukan transaksi lebih dari Rp 350 triliun.
Selain itu, Ivan mengaku PPATK sudah melakukan pemeriksaan dan memberitahu kepada Kemenkeu bahwa ada transaksi mencurigakan senilai Rp189 triliun pada 2017.
Berikut sederet hal yang disampaikan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau Kepala PPATK) Ivan Yustiavandana soal transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat RDP bareng DPR RI dan Menko Polhukam Mahfud Md dihimpun Liputan6.com:
Â
1. Ungkap Salah Satu Transaksi Janggal Senilai Rp189 Triliun di Kemenkeu
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, memaparkan terkait salah satu subjek terlapor transaksi mencurigakan di Kemenkeu sebesar Rp180 triliun dan Rp189 triliun.
Hal itu disampaikan saat Rapat dengan Komisi III DPR, Rabu 29 Maret 2023.
Ivan menyebut, kasus transaksi janggal Rp189 triliun merupakan kasus kedua atas nama subjek yang sama dengan transaksi Rp 180 triliun. Kasus tersebut telah disampaikan PPATK ke jajaran Kemenkeu.
"Jadi, sebenarnya itu ialah kasus kedua atas nama subjek terlapor. Itu kami berikan 2019-2020 diproses atas nama subjek pelapor yang sama. Sebelumnya, sudah kami periksa 2017 dan mengundang Kemenkeu yang dihadiri Dirjen Bea dan Cukai, termasuk Irjen menyerahkan, menyampaikan dan mempresentasikan berkas pemeriksaan pertama," kata Ivan, Rabu 29 Maret 2023.
Dia mengatakan, sebelumnya PPATK menemukan Rp189 trilun pada pemeriksaan kedua, PPATK telah melihat subjek terlapor melakukan transaksi periode 2014-2016 menerima dana yang masuk sejumlah Rp 180 triliun lebih.
Jika menggunakan pola tindak pidana pencucian uang (TPPU), subjek terlapor melakukan transaksi lebih dari Rp350 triliun.
"Kami sampaikan ke Kemenkeu, ini terkait dengan yang ketua komite tadi sampaikan kasusnya, terkait dengan kepabeanan. Kenapa kepabeanan? Karena terkait dengan fasilitas impor dan segala macam dan penyidik TPPU-nya adalah penyidik Kemenkeu, dalam hal ini adalah Bea dan Cukai," ungkapnya.
Â
Advertisement
2. Akui Sudah Temukan Indikasi TPPU Kepabeanan Rp189 Triliun Sejak 2017
Ivan kemudian mengatakan, PPATK telah menemukan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan nilai mencapai Rp 189 triliun.
Pertama, PPATK sudah melakukan pemeriksaan dan memberitahu kepada Kemenkeu bahwa ada transaksi mencurigakan senilai Rp 189 triliun pada 2017.
Kemudian, PPATK kembali melakukan pemeriksaan kedua kali di 2020 dan lagi-lagi menemukan transaksi janggal Rp 189 triliun. Ivan menerangkan pemeriksaan dobel dilakukan karena subjek terlapor melakukan pola transaksi dengan mengubah entitasnya.
"Kalau menggunakan pola TPPU sesuai parameter kami, subjek terlapor melakukan transaksi lebih dari Rp 350 triliun. Ini kami sampaikan ke Kemenkeu. Ini kasusnya juga terkait kepabeanan yang tadi Pak Mahfud juga sampaikan," ujar Ivan dikutip dari Belasting.id, Rabu 29 Maret 2023.
Secara kronologi, Ivan menjelaskan pada 2017, PPATK sudah mengundang Kementerian Keuangan untuk mempresentasikan berkas pemeriksaan kasus pertama atas nama subjek yang sama. Dia bilang saat itu undangan dihadiri oleh Dirjen Bea dan Cukai dan Irjen Kemenkeu.
Pada 2017 itu, jabatan Dirjen Bea dan Cukai diampu oleh Heru Pambudi. Sementara Inspektur Jenderal Kemenkeu yang saat itu menjabat adalah Sumiyati, dan kini sudah pensiun.
Â
3. PPATK Sebut Sudah Kembali Lakukan Pemeriksaan
Ivan menyampaikan PPATK kembali menggelar pemeriksaan terhadap subjek yang sama di 2020 karena subjek terus mengganti entitasnya dalam melakukan indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Laporan terkait dengan subjek sudah kita berikan hasil analisa kepada pihak Bea Cukai, masih terus dilaporkan oleh perbankan, sehingga kami lakukan lagi pemeriksaan ulang," kata Ivan.
Kepala PPATK pun sudah menyampaikan kepada Irjen Kemenkeu mengenai pemeriksaan kedua itu. Ivan mengungkapkan Irjen Kemenkeu mengaku tidak melihat adanya jejak mengenai kasus pertama.
"Irjen kemarin saya ketemu tanggal 14 (Maret 2023) itu, mengatakan bahwa hasil pemeriksaan pertama memang tidak ada bekasnya, tidak ada jejaknya di Kementerian Keuangan," ungkap Ivan.
Â
Advertisement
4. Total yang Dilaporkan Rp189 Triliun kepada Kemenkeu
Selain itu, Ivan mengatakan telah menyerahkan laporan Rp180 triliun pada 2017 ke Kemenkeu. Ditambah dengan transaksi Rp 189 triliun yang ditemukan pada 2017-2019 nilainya mencapai angka lebih dari Rp 360 triliun.
"Karena kita sudah menyerahkan dan mengamati dalam database, laporan yang terkait dengan subjek yang sudah kita berikan hasil analisisnya kepada pihak Bea Cukai, masih terus dilaporkan oleh perbankan, sehingga kami lakukan lagi pemeriksaan ulang," paparnya.
"Tadi pemeriksaan dengan data 2014-2016, sekarang kami lakukan pemeriksaan ulang dengan data 2017-2019, di pemeriksaan kedua itulah ketemu angka Rp189 T yang berbeda dengan Rp180 T itu, sehingga kalau digabung pemeriksaan atas nama subjek terlapor dari 2014-2020, angkanya adalah 180 ditambah 189," jelas Ivan.