Liputan6.com, Jakarta - Riset Nagara Institut menyebut, pemerintah kurang serius melakukan intervensi harga komoditas. Akibatnya, kebijakan kedaulatan pangan nasional menjadi melemah.
“Intervensi pemerintah terkait kebijakan ketahanan pangan selama ini masih mentitikberatkan pada subsidi terhadap input produksi seperti pupuk dan alat produksi,” kata Dian Revindo selaku peneliti Riset Nagara Institut dalam acara yang bertajuk Kedalautan Pangan, Kedalautan Bangsa: Tantangan dan Arah Kebijakan Pangan untuk Indonesia Emas, dikutip dari keterangan tertulis diterima, Sabtu (17/6/2023).
Dian melajutkan, produksi seharusnya bukan menjadi masalah karena pangan di Indonesia dihasilkan oleh jutaan petani. Demikian juga konsumen, sebab jumlah penduduk Indonesia yang cukup banyak.
Advertisement
Dian menilai penyebabnya lebih dikarenakan sasaran produksi yang bersifat sementara, termasuk subsidi teknologi bagi petani. Karena ituu, menurut lembaga penelitian yang dipimpin Akbar Faisal ini, justru ada dalam harmoni permintaan dan penawaran pangan.
“Harga paling efektif seharusnya adalah harga dari pembeli, sedangkan Herga Eceran Tertinggi (HET), yang sekarang ini digunakan dianggap tidak masuk akal,” yakin Dian.
Dian menjelaskan, HET sebagai salah satu acuan utama kebijakan menjadi tidak berdampak signifikan karena pemerintah tidak memiliki instrumen stabililisasi harga yang memadai. Misalnya seperti harga beras yang ternyata tidak selaras karena konsumen lebih banyak membeli beras yang berkualitas tinggi di toko modern.
“Sebab beras di pasar induk masih berkualitas medium. Maka terhadi ketikdapastian harga. Hal ini menyebabkan petani terpaksa mengandalkan pihak ketiga untuk mengelola hasil panen,” ungkap Dian.
Dian mencatat, akibat harga yang tidak menentu maka tren pembayaran dari tengkulak lebih banyak tunai untuk gabah tebasan dan bukan gabah bersih. Kenyataan tersebut menjadi penyebab disinsentif petani untuk menjual gabah bersih karena kenutuhan uang dari pembeli atau tengkulak.
“Sistem ini memperburuk harga di level petani. Sistem ini diperburuk karena Bulog masih terus membeli beras dari tengkulak, bukan dari petani karena alasan kualitas gabah produksi,” tegas dia.
HPP Lindungi Petani Produsen
Hal senada juga disampaikan Sonya Mamoriska sebagai Kepala Perencanaan Strategi dan Manajemen Risiko Bulog. Dia mengatakan secara umum Harga Pokok Produksi (HPP) dirancang untuk melindungi petani produsen.
“HPP bertujuan untuk menjamin harga yang diterima petani tetap berada di atas biaya produksi sehingga dapat memberikan insentif bagi petani,” kata Sonya dalam kesempata senada.
Hanya saja, Sonya melanjutkan, dalam realisasi besaran HPP selama ini seringkali berada di bawah pasar sehingga menjadi kendala dalam penyerapan produksi dalam negeri.
“Selain dipengaruhi oleh penentuan HPP, terdapat beberapa hal yang menjadi kendala dalam penyerapan produksi dalam negeri, antara lain, tingkat produksi padi dan kebijakan yang tidak terintegrasi antara hulu dan hilir,” ungkap Sonya.
Advertisement
Harus Ada Lembaga Perumus Kebijakan Pangan
Lebih lanjut peneliti Nagara Institute menilai dari sisi tata kelola lembaga, setelah era reformasi tidak ada lembaga tertentu yang merumuskan kebijakan pangan daru hulu ke hilir hingga tahun 2022.
“Kebijakan urusan pangan selama ini diurus oleh tingkat eselon satu sehingga koordinasi pangan selama ini tidak pernah optimal,” ujar Dian.
Benar bahwa pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang Pangan sejak 2012, namun lembaga Badan Pangan Nasional sebagai lembaga yang mengurusi kebijakan pangan baru terbentuk pada tahun 2021. Bahkan, strukturnya Bapanas baru terbentuk 2022 dengan anggaran yang relatif kecil, yakni hanya Rp130 miliar.
Selain itu, kebijakan pangan nasional terhambat karena dari sisi perencanaan anggaran, pemerintah daerah masih belum menempatkan sektor pertanian sebagai prioritas.
Hasil riset memperlihatkan bahwa tidak banyak pemerintah daerah yang cukup memprioritaskan pertanian melalui proses anggaran yang cukup.
“Di Provinsi Jawa Barat sebagai lumbung beras nasional misalnya hanya mengalokasikan kurang dari Rp 1 triliun untuk kebijakan pangan dari APBD provinsi senilai Rp43 triliun,” ungkap Dian.
Dian berharap, agar penerapan kebijakan pangan di tingkat masyarakat dilakukan secara lebih terencana. Misal, salah satu yang bisa dilakukan adalah melalui pola dan periode tanam petani yang selama ini tidak teratur dan seragam.
“Sehingga produksi dan harga tidak terestimasi dengan baik,” dia menutup.