Liputan6.com, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto baru saja menyatakan agar aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) diubah menjadi lebih fleksibel. Hal ini dilakukan agar Indonesia lebih kompetitif dengan negara lain.
Menanggapi wacana tersebut, Heru Sutadi mengatakan kalau mengurangi TKDN itu memiliki nilai plus dan minus. Terlebih, jika langkah ini merupakan bagian dari negosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat.
Advertisement
Baca Juga
Untuk diketahui, Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru saja mengumumkan tarif impor resiprokal. Meski saat ini ditunda penerapannya, dalam aturan baru itu, Amerika Serikat menaikkan tarif impor dari Indonesia mencapai 32 persen.
Advertisement
Menurut Heru, mengurangi TKDN memang bisa menjadi faktor dalam proses perundingan bilateral dengan Amerika Serikat untuk mengurangi atau menghapus tarif impor 32 persen.
"Namun, mengurangi TKDN juga bisa membuat industri komponen lokal yang saat ini sedang tumbuh jadi kolaps, karena mereka bergantung pada pesanan dari pabrik ponsel besar," tutur Heru saat dihubungi Tekno Liputan6.com, Kamis (10/4/2025).
Untuk itu, pemerintah harus berhati-hati apabila nantinya benar-benar rencana ini diwujudkan. Alasannya, ada kemungkinan industri dalam negeri bakal kalah saing dengan impor murah.
"Jika TKDN dikurangi, Indonesia makin bergantung pada impor komponen, yang bikin defisit neraca dagang naik dan ekonomi rentan fluktuasi global," tuturnya lebih lanjut.
Selain itu, langkah mengurangi TKDN tidak otomatis membuat AS menghapus tarif baru tersebut. Sebab, Presiden AS Donald Trump memiliki agenda proteksi yang lebih luas.
Upaya Alternatif selain Relaksasi Aturan TKDN
Sementara dengan berkurangnya TKDN, industri elektronik Indonesia bisa memakai komponen impor lebih murah, terutama dari Amerika Serikat atau China.
Dengan demikian, biaya produksi bisa diturunkan serta bisa membuat produk yang lebih kompetitif di pasar global, bukan hanya Amerika Serikat.
Oleh sebab itu, menurut Heru, solusi alternatif selain mengurangi TKDN adalah meningkatkannya dengan fokus pada inovasi, tidak sekadar perakitan.
"Misalnya, kembangkan chip lokal atau komponen bernilai tinggi, seperti yang sukses dilakukan Vietnam. Dan, dari itu semua, pelonggaran TKDN, sebenarnya merupakan 'langkah mundur'," tuturnya melanjutkan.
Sementara untuk jangka panjang, pemerintah harus menerapkan cara yang lebih pintar untuk memperkuat TKDN.
Alasannya, tanpa kewajiban TKDN, Indonesia hanya akan menjadi pasar, tanpa ada investasi besar yang masuk dan pembukaan lapangan kerja.
Adapun jika memang hal ini nantinya harus diterapkan, Heru mencontohkan, pembatasan pelonggaran itu bisa dilakukan secara terbatas untuk produk elektronik Amerika Serikat, serta tidak berlaku untuk semua negara.
"Sebab terbukti, TKDN ponsel misalnya, membuka lapangan kerja, pemasukan pajak, dan investasi," tuturnya menutup perbincangan.
Advertisement
Aksi Perusahaan yang Investasi di Indonesia
Direktur Ekonomi Digital Celios (Center of Economics and Law Studies) Nailul Huda menyatakan, bagi perusahaan atau negara yang sudah berinvetasi di Indonesia, relaksasi aturan TKDN memang memberikan perlakuan tidak setara.
"Mereka bisa cabut pabrik manufakturnya dari Indonesia dan memutuskan untuk mengimpor barang secara langsung," ujarnya.
Hal ini membuat perusahaan tersebut menjadi importir seluruhnya dan Indonesia bisa menjadi negara pedagang, bukan produsen.
Untuk itu, Nailul menuturkan, kebijakan TKDN tetap perlu dipertahankan, tapi aturannya perlu direlaksasi. Sebagai contoh, perusahaan yang mengimpor tetap harus membangun manufaktur dalam jangka waktu tertentu.
Kendati demikian, di sisi lain, menurutnya, upaya relaksasi ini bisa mendorong kehadiran teknologi baru di Indonesia.
Nailul beralasan, dalam hal industri teknologi, banyak dari perusahaan teknologi global yang tidak masuk ke Indonesia karena adanya aturan TKDN.
"Aturan relaksasi TKDN memang seakan tidak adil bagi perusahaan lainnya, tapi saya rasa kebijakan TKDN ini memberikan keluwesan bagi perusahaan lainnya untuk menjual produknya ke Indonesia," ujarnya lebih lanjut.Â
Terlebih, industri dalam negeri saat ini, menurut Nailul, belum siap menampung keinginanan perusahaan teknologi global yang ingin berinvestasi.Â
