Liputan6.com, Jakarta - Komisi II DPR RI dan pemerintah sepakat membawa revisi Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), ke tingkat II atau paripurna.
Keputusan itu didapatkan dalam rapat kerja Komisi II DPR , Selasa (19/9/2023). Rapat dipimpin Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, turut hadir Kepala Otorita IKN Bambang Susantono, Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto, hingga Menteri PPN atau Kepala Bappenas Suharso Monoarfa.
Baca Juga
Sebanyak 8 fraksi DPR yakni Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN, PPP, dan Demokrat menyetujui untuk dibawa ke paripurna.
Advertisement
"Apakah kita bisa menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara ini?" tanya Doli dan dijawab setuju.
"Dan kita sama-sama menyetujui untuk melanjutkannya dan kemudian untuk pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang akan datang," lanjut Doli.
Sementara itu, Demokrat menyatakan setuju revisi UU IKN dibawa ke paripurna dengan catatan. Selain itu Fraksi PKS melalui Teddy Setiadi menyatakan menolak.
"Kami Fraksi PKS dengan memohon taufik Allah SWT menyatakan menolak revisi RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 3 tentang Ibu Kota Negara tersebut untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan," pungkasnya.
9 Poin Perubahan
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah mengusulkan perubahan UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Ada sembilan poin yang diajukan oleh pemerintah dalam perubahan pertama UU IKN.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebut, perubahan pertama adalah kewenangan khusus IKN. Kemudian yang kedua adalah masalah pertanahan. Hal itu disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, Senin (21/8/2023).
Ketiga ada pengelolaan keuangan. Ada sejumlah poin yang diubah. Yaitu Otorita IKN sebagai pengelola diberi kewenangan untuk mengelola anggaran dalam kedudukan sebagai pemerintah daerah khusus. Otorita IKN juga diberi kewenangan penuh untuk mengelola barang.
Menurut Suharso, diperlukan pengalihan kedudukan otorita dari pengguna menjadi pengelola anggaran/barang supaya otorita lebih mandiri dalam memperoleh kegiatan persiapan, pembangunan pemindahan ibukota negara dan penyelenggaraan pemerintah daerah khusus.
Poin keempat, pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilatarbelakangi kombinasi ASN dan profesional non-birokrat. Kalangan ASN lebih memiliki kapasitas dan kemampuan dalam sisi perencanaan dan birokrasi.
"Sedangkan kalangan profesional non-PNS dipandang dapat berperan dalam memberikan kontribusi berdasarkan pengalaman teknis dan kegiatan project development," papar Suharso.
Perubahan kelima, pemuktahiran delineasi wilayah dilatarbelakangi oleh Pulau Balang yang dikeluarkan seluruh dari wilayah IKN dengan pertimbangan pengelolaan satu kesatuan ekosistem.
"Menghindari wilayah permukiman yang terpotong untuk meminimalisir konflik sosial dalam wilayah pemukiman akibat pengelolaan yang terpisah dalam satu area, menjaga keterpaduan dan kesatuan pengelolaan habitat pesut, administrasi, serta pelayanan publik," jelas Suharso.
Advertisement
Poin Selanjutnya
Keenam, perubahan penyelengaraan perumahan. Otorita IKN memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan perumahan di IKN.
"Dalam percepatan pemenuhan kebutuhan hunian diperlukan pengaturan yang mengatur pemberian kesempatan bagi pengembang untuk mengalihkan kewajiban hunian berimbang di luar IKN ke dalam wilayah IKN dengan pemberian intensif. Pelaksanaan hunian berimbang dengan memperhatikan RDTR IKN. Penggunaan dana konvensi hunian berimbang untuk percepatan pembangunan perumahan di IKN," ujar Suharso.
Ketujuh, perubahan mengenai tata ruang. Perubahan dilakukan didasarkan untuk mengatur ketentuan setiap bidang tanah di wilayah IKN wajib difungsikan sesuai ketentuan penataan ruang.
"Kedua diperlukan ketentuan tentang konsekuensi terhadap penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan penataan ruang berupa relokasi atau konsolidasi tanah," ujar Suharso.
Kedelapan, mengenai mitra Otorita IKN di DPR. Hal ini dilatarbelakangi karena belum adanya pengaturan terkait siapa yang menjalankan pengawasan, pemantauan, dan peninjauan pelaksanaan pemerintahan daerah khusus di IKN.
"Diperlukan adanya keterlibatan DPR sebagai representasi masyarakat untuk memastikan pengawasan terhadap penyelenggaraan 4P oleh otorita," jelas Suharso.Â