OPINI: Dana Filantropi Islam dan Upaya Selamatkan Luwu

Di Luwu Sulsel banyak operasi tambang berlangsung tanpa izin resmi, mengabaikan prinsip keberlanjutan, dan luput dari pengawasan. Hutan dibabat, bukit digali, dan sungai tercemar demi keuntungan jangka pendek.

oleh Ahmad Yusran Diperbarui 22 Apr 2025, 08:00 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2025, 08:00 WIB
Tambang Emas Luwu
Di Luwu Sulsel banyak operasi tambang berlangsung tanpa izin resmi, mengabaikan prinsip keberlanjutan, dan luput dari pengawasan. Hutan dibabat, bukit digali, dan sungai tercemar demi keuntungan jangka pendek. (Liputan6.com/ Dok Ist)... Selengkapnya

 

Liputan6.com, Makassar - Kabupaten Luwu Sulsel telah lama dikenal sebagai daerah yang menyimpan kekayaan alam luar biasa, salah satunya emas. Tak heran jika wilayah-wilayah seperti Latimojong, Bastem, dan Rongkong kini menjadi titik panas pertambangan emas. Banyak operasi tambang berlangsung tanpa izin resmi, mengabaikan prinsip keberlanjutan, dan luput dari pengawasan lingkungan. Hutan dibabat, bukit digali, dan sungai tercemar hanya demi keuntungan jangka pendek.

 

 

Akibatnya, hutan tropis Luwu yang dahulu menjadi benteng karbon dan sumber kehidupan bagi flora-fauna kini terkoyak. Alih fungsi hutan untuk pertambangan menyebabkan deforestasi yang mempercepat krisis iklim. Fragmentasi habitat juga mengancam keanekaragaman hayati dan memperburuk bencana ekologis seperti banjir dan longsor.

Belum lagi penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida dalam proses pemurnian emas telah mencemari sungai-sungai utama. Limbah tambang yang dibuang sembarangan menyebabkan kerusakan kualitas air, mematikan biota sungai, dan membahayakan kesehatan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada air bersih.

Tak banyak yang menyadari bahwa aktivitas tambang emas sangat intensif karbon. Dari penggunaan alat berat berbahan bakar diesel hingga penghancuran vegetasi penyerap karbon, seluruh proses menambah emisi gas rumah kaca. Ini menjadikan pertambangan sebagai salah satu kontributor tersembunyi dalam krisis iklim global.

Di tengah gemuruh alat berat dan kilau emas, masyarakat lokal justru merasakan getir. Lahan pertanian hilang, akses ke air bersih terganggu, dan ketegangan sosial meningkat. Banyak warga, khususnya masyarakat adat, terpaksa kehilangan ruang hidup yang telah mereka jaga secara turun-temurun.

Semua pihak butuh langkah tegas dan kolaboratif. Pemerintah harus menindak tambang ilegal dan meninjau ulang izin-izin eksploitasi yang merugikan ekosistem. Audit lingkungan perlu dilakukan secara berkala, disertai pemulihan lahan pasca-tambang. Masyarakat lokal harus dilibatkan sebagai penjaga dan pengelola sumber daya.

Tapi ada yang menarik, pendekatan berbasis nilai, seperti filantropi Islam, dapat menjadi sumber kekuatan alternatif. Zakat, wakaf, dan sedekah bisa diarahkan untuk mendukung transisi ekonomi masyarakat menuju sektor ramah lingkungan pertanian organik, ekowisata, hingga restorasi ekosistem.

Sebab bukan rahasia pertambangan emas di Luwu bukan lagi sekadar soal ekonomi. Ini soal keberlangsungan hidup, keadilan lingkungan, dan masa depan generasi mendatang. Jangan biarkan tanah yang subur berubah menjadi lahan mati hanya demi segenggam emas. Sudah saatnya juga hati nurani bertanya, emas untuk siapa, dan bumi untuk siapa.

Urgensi aksi iklim dalam filantropi Islam ini menjadi pilihan sangat relevan di tengah krisis iklim global yang semakin mengancam kehidupan, terutama kelompok rentan.

Islam menekankan keadilan sosial dan menjaga amanah Allah, termasuk bumi dan seluruh isinya. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30), yang berarti bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam.

Kemudian dampak krisis iklim terhadap kelompok rentan. Di mana filantropi Islam selama ini banyak difokuskan pada membantu fakir miskin, korban bencana, dan kelompok termarjinalkan yang justru menjadi korban utama perubahan iklim.

Salah satu upaya mengatasi krisis iklim, adalah bentuk perlindungan terhadap mereka kelompok rentan. Sebab dari balik potensi besar dana filantropi Islam adalah zakat, wakaf, infaq, dan sedekah berpotensi menjadi instrumen pembiayaan aksi iklim, seperti rehabilitasi lahan dan air, energi terbarukan untuk masyarakat miskin, pertanian berkelanjutan dan tanggap darurat bencana iklim.

Sementara hal tersebut selaras dengan konvergensi tujuan yaitu Maqasid Syariah & SDGs. Perluasan makna kebaikan (Ihsan) dalam konteks modern, ihsan bukan hanya berbuat baik kepada manusia, tapi juga menjaga ciptaan Allah secara menyeluruh, termasuk iklim dan ekosistem.

Sebab aksi iklim tentu sejalan dengan maqasid syariah (tujuan-tujuan syariah), terutama dalam menjaga kehidupan (hifz al-nafs), lingkungan (hifz al-bi’ah), dan keturunan (hifz al-nasl), serta mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

 

Menyambut Hari Bumi 22 April 2025

Kolom opini ditulis oleh Ahmad Yusran, Aktivis Lingkungan Hidup, Ketua Forum Komunitas Hijau

 

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya