Liputan6.com, Jakarta - Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al Tayeb bersama pemimpin gereja Katolik Paus Fransiskus telah menandatangani Piagam Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan (Koeksistensi). Dokumen bersejarah ini ditandatangani pada 4 Februari 2019. Tanggal itu oleh PBB kemudian ditetapkan sebagai Hari Internasional Persaudaraan Manusia.
Direktur Majelis Hukama Muslimin (MHM) kantor cabang Indonesia Dr Muchlis M Hanafi mengatakan, Piagam Persaudaraan disusun atas kesadaran bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan dan diberi kemuliaan. "Piagam Persaudaraan ini berangkat dari nilai-nilai kemanusiaan. Manusia diberikan kebebasan yang harus dijaga, kebebasan beragama, kebebasan individu, kebebasan berpendapat, dan lainnya," ujar Dr Muchlis M Hanafi di Jakarta, Sabtu (23/9/2023).
Baca Juga
Hal ini disampaikan Dr Muchlis, panggilan akrabnya, dalam Diskusi dan Bedah Buku Piagam Persaudaraan Kemanusiaan. Diskusi ini diselenggarakan MHM kantor cabang Indonesia di stan pameran MHM pada Islamic Book Fair ke-21 di Istora Senayan, Jakarta. Hadir juga sebagai narasumber, Intelektual Al-Azhar Dr Salahuddin El Shami.
Advertisement
Dr. Muchlis lalu menjelaskan salah satu pesan penting dalam Piagam Persaudaraan Kemanusiaan, yaitu al Muwaathanah. Istilah ini terambil dari kata wathana yang berarti tanah air. Al-Muwaathanah bisa dipahami sebagai kewargaan negara atau kewarganegaraan, citizen ship.
"Istilah ini terinspirasi dari Piagam Madinah. Rasulullah ketika ke Madinah, membangun masyarakat Madinah yang diikat dalam Piagam Madinah," sebutnya.
Menurut Dr Muchlis, Piagam Madinah antara lain mengatur bahwa seluruh masyarakat yang ada di Madinah, terlepas apapun suku dan agamanya, dianggap sebagai satu ummah (masyarakat). Sehingga, beragam kabilah dan agama yang ada di Madinah dapat dipersatukan.
"Rasulullah membangun persaudaraan. Rasulullah mempersaudarakan Aus dan Khazraj yang sudah berperang lebih 120 tahun. Rasulullah juga mempersaudarakan Anshar dan Muhajirin, lalu mempersaudarakan beragam pemeluk agama dan kabilah," terang Dr Muchlis.
"Inilah konsep muwaathanah, membangun masyarakat tidak berdasarkan konsep suku dan agama tapi dalam satu tanah air. Dengan keragaman yang ada, membangun bersama tanah air," sambungnya.
Dalam Piagam Madinah, lanjut Dr Muchlis, Nabi juga memberikan jaminan kepada orang Yahudi, Nasrani Najran, Majusi Persia, semua diberi hak dan kewajiban yang sama. "Semangatnya adalah kewargaan negara, bukan kewargaan agama," tegasnya.
Kebijakan yang sama diterapkan Sayyidina Umar ketika menguasai Palestina. Sebelumnya, al-Quds dikuasai orang Kristen. Umar lalu mengikat perjanjian dengan mereka, yang dikenal dengan Al 'Uqdah Al 'Umariyah.
"Di antara kesepakatan itu, warga Kristen tidak boleh dipaksa meninggalkan agamanya. Rumah ibadah mereka juga tidak boleh dirusak. Kalau mereka meminta jaminan rasa aman, harus diberikan. Itu juga yang dilakukan Rasulullah dengan Nasrani Najran," papar Dr Muchlis.
"Ini semangat yang dibangun sejak dulu, agar warga bisa rukun dalam keragaman agama, suku, bahasa, dan budaya. Agar mereka bisa saling menghormati," sambungnya.
Semangat inilah, lanjut Dr Muchlis, yang dikembangkan MHM melalui beragam dialog antara timur barat, sesama muslim (Sunni & Syiah), serta dialog antaragama.
Watsiqah Al-Ukhuwwah Al-Insaniyyah
Sementara Dr Salahuddin El Shami menjelaskan konsep Watsiqah Al-Ukhuwwah Al-Insaniyyah. Tentang Watsiqah, Dr. Salah menjelaskan bahwa Nabi meridai semua kesepakatan yang ditujukan untuk melayani manusia. Nabi sebelum diutus menjadi seorang Rasul, juga bersepakat dengan para tokoh Quraisy untuk menolong orang terzalimi, menolong kaum lemah.
“Nabi sejak sebelum diutus adalah sosok yang semangat pada persaudaraan dan kemanusiaan. Nabi setelah diutus menjadi rasul, dikenal sebagai Nabi Rahmah,” jelasnya.
Tentang ukhuwwah, Dr Salah menjelaskan persaudaraan keislaman dan kemanusiaan. Penjelasan tentang persaudaraan keislaman banyak dijumpai dalam Al-Quran dan Hadis.
Sementara berkenaan persaudaraan kemanusiaan, Ia menyitir ayat, wa ilaa 'aadin akhaahum huuda. Ayat ini bercerita tentang kaum 'Ad yang dipersaudarakan oleh Hud. Bisa jadi tidak ada hubungan nasab di antara keduanya. Tapi ada kesadaran bahwa mereka hidup dalam satu negara. Sehingga saat ada masalah saling membantu.
“Sahabat Ali pernah berpesan, "Manusia adakalanya saudara kamu dalam agama atau setara dalam kemanusiaan,” ungkap Dr Salah.
Tentang Al-Insaniyah, Dr Salah berkisah tentang turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad. Setelah menerima wahyu, Nabi pulang ke rumah dalam keadaan khawatir dan minta diselimutin. Lalu Khadijah mengatakan, tidak ada yang akan menyusahkan Muhammad selamanya.
Kenapa Khadijah tahu? Bukankah saat itu suaminya belum diutus sebagai Nabi? Khadijah yakin karena Muhammad adalah orang yang menyambung silaturahim, memuliakan tamu, membantu yang menbutuhkan, dan membela kebenaran.
Dr Salah juga menjelaskan kenapa umat Muhammad menjadi warga terbaik. Al-Quran menginformasikan bahwa umat Muhammad adalah yang terbaik karena mendahulukan kebaikan manusia. Perintah untuk amar maruf nahi munkar didahulukan dari perintah beriman kepada Allah. Nabi juga berpesan bahwa sebaik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
"Nabi menyuruh kita berbuat kepada semua manusia, menyayangi yang di bumi hingga kita semua disayangi yang di langit," dia menandaskan.
Advertisement