Kuasa Hukum Galumbang Ungkap Kejanggalan Audit dalam Proyek BTS 4G

Penafsiran kerugian negara oleh Kejaksaan Agung berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait kasus dugaan korupsi Penyediaan Infrastruktur BTS 4G (proyek BTS 4G) jadi sorotan.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Nov 2023, 21:23 WIB
Diterbitkan 08 Nov 2023, 16:30 WIB
Galumbang
Terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Base Transceiver (BTS) 4G BAKTI Kominfo Galumbang Menak Simanjuntak dalam pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (6/11/2023). (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Liputan6.com, Jakarta - Penafsiran kerugian negara oleh Kejaksaan Agung berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait kasus dugaan korupsi Penyediaan Infrastruktur BTS 4G (proyek BTS 4G) jadi sorotan. Pasalnya, nilai kerugian negara yang disebutkan dalam audit itu lebih besar dari nilai proyek yang dikerjakan oleh konsorsium pemenang lelang. Oleh karena itu nilai kerugian negara seperti yang disebutkan dalam audit BPKP dianggap menyesatkan dan tidak berdasar.

Maqdir Ismail, penasihat hukum Galumbang Menak Simanjuntak, salah satu terdakwa kasus ini dalam White Paper yang ditulisnya mengungkapkan, berdasarkan fakta-fakta persidangan pada 31 Desember 2022 saat kasus ini mulai bergulir, jumlah menara BTS tahap I yang telah selesai dibangun sebanyak 3.029 menara (on air dan ready on air), dimana 2,952 menara (on air) diantaranya sudah terkoneksi ke operator seluler.

“Bahkan sampai awal September 2023, jumlah menara yang telah selesai dan terkoneksi ke operator atau siap dikoneksikan ke operator seluler telah mencapai hampir 100%, itu diluar site yang terkendala oleh keadaan kahar. Dana pembangunan BTS yang kategori kahar tersebut juga telah dikembalikan kepada negara,” tulis Maqdir dalam dokumen White Paper, Rabu (8/11/2023).

Dalam kasus dugaan korupsi proyek BTS 4G ini Kejaksaan Agung menyebutkan adanya kerugian sebesar Rp 8,03 triliun. Jumlah itu lebih besar dari dana realisasi yang diterima oleh konsorsium penyedia infrastruktur BTS yang hanya mencapai Rp 7,7 triliun (setelah pajak).

Kejagung menyebut kerugian tersebut berasal dari kegiatan penyediaan infrastruktur BTS dan infrastruktur pendukungnya yang belum selesai dikerjakan. Sedangkan pemerintah sudah melakukan pembayaran 100%. Dari total target 4.200 menara BTS yang harus selesai dibangun, sebanyak 3.242 menara BTS belum selesai dikerjakan hingga tenggat 31 Maret 2022. Artinya hanya 958 menara atau hanya 23% menara BTS yang diakui oleh BPKP.

Maqdir Ismail menjelaskan, 3.242 BTS yang dianggap “mangkrak” oleh Kejagung tersebut sejatinya sebagian besar telah selesai dan hanya menunggu proses serah terima secara administratif. Oleh karena itu BPKP seharusnya tetap bisa menilai valuasinya sehingga tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara.

“Faktanya menara yang dipersoalkan itu sudah berdiri dan bisa dioperasikan. Bahkan BTS-BTS itu telah memberikan sinyal 4G kepada masyarakat, serta telah memberikan manfaat bagi operator seluler maupun BAKTI yang menerima pembayaran dari operator seluler,” jelas Maqdir.

Oleh karenanya Maqdir menilai kerugian negara dalam dakwaan Kejaksaan sangat tidak tepat.

“Bagaimana mungkin penuntut umum kejaksaan mendakwa bahwa proyek BTS yang belum selesai dianggap sebagai kerugian negara (total loss). Padahal seharusnya proyek BTS yang masih proses pengerjaan sudah sewajarnya dihitung karena barang yang sudah dibeli telah menjadi milik negara. Selain itu, dalam perkembangannya jumlah proyek BTS yang masih tahap pengerjaan terus menurun,” ujarnya.

Molor Karena 4 Faktor

Proyek pembangunan BTS di wilayah 3T ini sejatinya merupakan bagian dari visi Presiden Joko Widodo untuk membangun infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung transformasi digital. Pada 2019, sinyal internet menjangkau 87,4% desa dan 35,7% kecamatan. Pada akhir masa pemerintahan pada 2024, ditargetkan 95% desa dan 60% kecamatan terjangkau sinyal internet.

Adapun proses pengerjaan proyek BTS Tahap I sebanyak 4.112 menara dilakukan oleh tiga konsorsium yang memenangkan tender awal 2021 hingga 31 Desember 2021. Periode pengerjaan ribuan BTS yang ditargetkan selesai dalam tempo satu tahun membuat konsorsium sulit memenuhi target waktu penyelesaian yang ditetapkan.

Bahkan dalam pelaksanaannya pembangunan proyek BTS 4G mengalami sejumlah kendala. Pertama, kata Maqdir, tidak lama setelah kontrak pembelian ditandatangani BAKTI dan penyedia pada awal dan akhir Q2-2021, terjadi ledakan Covid-19 varian Delta. Kondisi itu diikuti dengan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) secara ketat yang menghambat rantai pasok dan mobilisasi material dan pekerja.

Rantai pasok juga terkendala secara internasional akibat penutupan sementara pabrik di China dan penutupan berbagai pelabuhan utama di China karena kasus COVID-19. Ini membuat pengiriman barang dari China terhambat sehingga komponen.

Kedua, keterlambatan kontrak pembelian atau purchase order dan keterlambatan pembayaran telah menghambat pelaksanaan pekerjaan. Keterlambatan kontrak pembelian ini diakibatkan belum tersedianya anggaran dari sisi negara, yang menyebabkan BAKTI belum bisa menandatangani kontrak.

Ketiga, pengiriman material ke berbagai provinsi yang menaungi wilayah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) yang sudah dihambat oleh rantai pasok dan mobilisasi yang sangat terbatas karena kebijakan Covid-19, secara faktual juga mengalami hambatan akibat kondisi cuaca buruk dan kendala geografi berupa pegunungan dan kepulauan. Untuk sampai ke daerah 3T, pengiriman barang harus menggunakan cara-cara yang tidak konvensional seperti menggunakan tenaga hewan (kuda, kerbau), dengan tenaga manusia, bahkan transportasi udara (helikopter) karena keterbatasan infrastruktur jalan.

 Material yang diangkut bukan hanya BTS, tetapi infrastruktur pendukungnya seperti tower, pagar, power, solar panel, dan baterai yang berat totalnya bervariasi mulai dari 5 ton sampai lebih dari 20 ton tergantung dari konfigurasi tower dan power yang dipasang.

Keempat, penundaan terjadi karena adanya gangguan keamanan, khususnya di wilayah Papua dan Papua Barat. Bahkan, Polda Papua meminta penghentian sementara pembangunan proyek BTS akibat gangguan keamanan, baik diakibatkan oleh gerakan separatis maupun juga perang antara desa adat/suku.

Maqdir mengatakan, berdasarkan fakta-fakta di atas menjelaskan bahwa penyelesaian pembangunan BTS tetap berlangsung kendati mengalami berbagai kendala, termasuk ketika proses hukum ini berjalan.

“Adanya kemajuan signifikan dari penyelesaian proyek BTS ini menunjukkan bahwa proyek BTS 4G ini tidak mangkrak. Penyelesaian pembangunan BTS ini juga sekaligus membuktikan bahwa tuduhan telah terjadi kerugian negara dari proyek ini menjadi sangat tidak relevan dan menyesatkan,” tutup Maqdir.

Galumbang Menak Dituntut 15 Tahun Penjara

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Galumbang Menak Simanjuntak, terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan tower BTS dengan hukuman penjara 15 tahun. Dalam salah satu pertimbangannya yang meringankan, Jaksa menilai Galumbang tak ikut menikmati hasil korupsi.

"Terdakwa berperilaku sopan, belum pernah dihukum, dan tidak menikmati hasil tindak pidana korupsi," kata jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (30/10/2023).

Diketahui, sebelum menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan tower BTS, Galumbang merupakan Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Tbk.

Pria kelahiran Tarutung, Sumatera Utara ini bahkan memiliki sederet prestasi dan capaian yang ciamik, terutama turut terlibat dalam sejumlah proyek strategis nasional di bidang telekomunikasi.

Galumbang sendiri dikenal sebagai salah satu pengusaha telekomunikasi sukses di Indonesia. Ia merupakan pendiri dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Tbk, salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia.

Galumbang memulai karirnya di bidang telekomunikasi pada 1989 sebagai engineer di PT Telkom. Pada 1995, ia bergabung dengan PT Excelcomindo Pratama (XL) sebagai manager jaringan. Kemudian 5 tahun berikutnya atau pada 2000, ia mendirikan PT Mora Telematika Indonesia Tbk.

Galumbang merupakan pencetus Voice over IP (VoIP), yakni layanan jasa telepon internasional dengan harga terjangkau di Indonesia. Gagasannya terpantik dari kebutuhan para TKI yang ingin berkomunikasi dengan keluarganya di Tanah Air.

Proyek yang membuat nama Galumbang menjadi dikenal di bidang Telekomunikasi ketika Moratelindo menjadi perusahaan Indonesia pertama yang memiliki kemampuan instalasi jaringan serat optik di Orchard Road, Singapura.

Nama Galumbang semakin populer ketika ia mengerjakan proyek Palapa Ring Barat dan Palapa Ring Timur. Keduanya merupakan proyek strategis nasional infrastruktur prioritas Pemerintah Pusat yakni pemasangan kabel serat optik sepanjang 8.300 kilometer di Indonesia.

Pemasangan kabel serat optik tersebut telah selesai dikerjakan pada 2019 dan diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Pada 2020, PT Mora Telematika Indonesia Tbk, melalui KSO BPS-MORATELINDO yang merupakan joint operation mendapat kepercayaan Pemerintah Kota Semarang untuk bekerja sama dalam proyek pembangunan, pengoperasian, pengusahaan dan penyediaan pelayanan infrastruktur pasif telekomunikasi di wilayah Kota Semarang.

Pada 2023, Galumbang tersandung kasus dugaan korupsi pengadaan tower BTS, sehingga dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari PT Mora Telematika Indonesia Tbk. Pengunduran diri ini dilakukan setelah perusahaan yang didirikannya selama 23 tahun tersebut telah melakukan IPO pada tahun sebelumnya.

 

Infografis Johnny G. Plate Siap Jadi Justice Collaborator. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Johnny G. Plate Siap Jadi Justice Collaborator. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya