Liputan6.com, Denpasar Seluruh sektor pariwisata yang ada di Bali mulai berangsur pulih pasca Pandemi Covid-19 usai. Salah satu sektor usaha yang mengalami pemulihan cepat adalah bisnis vila yang kini memiliki tingkat hunian rata-rata sekitar 70% dan harga yang stabil.
Ketua Bali Villa Association (BVA) 2021-2026, Putu Gede Hendrawan mengatakan bahwa jumlah vila di Bali juga mengalami pertumbuhan yang signifikan, khususnya untuk private vila. Ia menyebut, setelah sistem perizinan yang menggunakan Online Single Submission (OSS) dan usaha vila memiliki Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) pertumbuhan tercatat signifikan.
Baca Juga
Bali Raih Apresiasi UNWTO dan Dikritik Fodor, Zita Anjani: Mari Jadikan Momentum untuk Berbenah
Lagi, Wisatawan Cerita Digigit Tomcat di Bali sampai Kulit Pahanya Melepuh
Tanggapan Budayawan Sugi Lanus Tentang Rencana Prabowo Jadikan Bali The New Singapore dan Hong Kong: Pariwisata Bali Tidak Korbankan Alam
“Jadi sekarang jauh lebih mudah untuk berusaha secara legal yang termasuk sebagai usaha akomodasi dengan kategori UMK ini,” katanya.
Advertisement
"Kebijakan pemerintah ini, adalah hal yang baik untuk menggairahkan bisnis dan investasi. Namun di sisi lain, harus diimbangi dengan pembinaan agar konsep kenyamanan dan keamanan vila tetap terjaga," jelas Hendrawan.
Ia pun menyebut bahwa dari segi tata ruang juga kerap ada masalah, di mana izin yang disetujui oleh sistim OSS seringkali berada di lahan yang tak semestinya.
“Apalagi sekarang tak dibutuhkan rekomendasi dari penyanding,” sebut Hendrawan.
Untuk itu, ia mengungkapkan, pihaknya telah menyampaikan berbagai masalah di lapangan agar tak terjadi benturan di lapangan.
“Apalagi di Bali ini ada aturan-aturan lokal yang khas seperti adanya kawasan suci,” ungkap pria yang sempat menjadi Ketua BVA Badung pada 2016-2021 itu.
Sejalan dengan Pelestarian Alam
Hendrawan menegaskan bahwa BVA berkomitmen agar perkembangan bisnis vila tak identik dengan percepatan alih fungsi lahan. Menurutnya, pembangunan vila mestinya sejalan dengan pelestarian alam dimana maksimal hanya 40% dari lahan yang digunakan untuk bangunan.
“Ini untuk menjaga agar sirkulasi udara tetap bagus, ada daerah resapan air dan bagi vila sendiri ada view yang membedakan dengan bangunan lain,” tegasnya.
"Sayangnya dalam masalah ini, BVA sendiri masih bersifat lokal karena hanya ada di Bali sehingga belum bisa menjadi counterpart atau penyeimbang kebijakan pemerintah di tingkat nasional," jelas Hendrawan.
Di sisi lain, Hendrawan mengimbau agar warga Bali berhati-hati saat melakukan perjanjian dengan investor yang ingin membangun vila yang kebanyakan adalah Warga Negara Asing (WNA). Ia mengingatkan, harus dipastikan bahwa selain mendapatkan uang dari lahan yang disewakan juga memperoleh keuntungan melalui pembagian saham.
“Jangan puas kalau hanya dijadikan nominee (perwakilan) pemilik vila saja,” ujarnya.
Hendrawan juga mengatakan, bila menyewakan vila untuk WNA dalam jangka panjang, harus dipastikan bahwa vila itu tidak untuk dibisniskan lagi misalnya disewakan secara harian.
“Jadi saat perjanjian harus sudah dicantumkan aturannya dan sanksi bila hal itu terjadi,” katanya.
"Banyak kasus juga, penyewaan vila itu bahkan dilakukan di luar negeri karena rental vila dalam jangka panjang biasanya dengan sistem lepas kunci," jelas Hendrawan.
Dirinya menyebut bahwa dalam hal pengaturan vila sendiri, posisi BVA belum terlalu kuat karena tak ada kewajiban pemilik atau manajemen vila untuk menjadi anggota. Namun, dirinya mengungkapkan, pihaknya selalu menjadi mitra pemerintah dalam penyusunan maupun penegakan aturan.
"Sampai saat ini, jumlah anggota BVA hanya berkisar ratusan saja. Meski terhitung sedikit, anggota BVA dipastikan memiliki standar layanan yang sudah pasti sehingga memberikan perlindungan bagi konsumen," sebut Hendrawan.
“Kami juga membantu anggota bila mengalami masalah-masalah di lapangan,” jelasnya.
Advertisement
Kualitas Pariwisata Bali
Terlepas dari soal bisnis vila, Hendrawan mengatakan bahwa pariwisata Bali memiliki pekerjaan rumah karena kualitas wisatawan mancanegara yang cenderung menurun.
“Setelah pandemi mungkin semua berpikir yang penting dibuka saja dulu agar ekonomi bergerak tanpa melihat pangsa pasar turis yang datang,” katanya.
Hendrawan mengungkapkan, hal itulah yang kemudian menimbulkan masalah seperti turis yang terlunta-lunta saat berada di Bali, perilaku yang tak terkendali hingga membuka usaha yang melanggar aturan.
“Ini harus dipikirkan ke depannya, filterinya seperti apa,” ungkapnya.
Selain itu, Hendrawan menjelaskan, pemangku kebijakan juga harus mencermati pergeseran pasar khususnya dalam mempromosikan Bali.
"Dari pengalaman melihat perkembangan turis Rusia, mereka awalnya pada era 2010 hingga menjelang pandemi termasuk dalam kategori turis high class," jelasnya.
"Namun kemungkinan karena kondisi di dalam negerinya, kualitas turis menurun dan yang datang adalah mereka tak memiliki cukup uang. Akibatnya, saat berada di Bali kemudian banyak yang berulah," imbuh Hendrawan.
Dari sisi Bali sendiri, ia menyebut, terdapat sejumlah masalah yang harus diatasi seperti soal sampah dan kemacetan. Jika masalah tersebut tidak bisa diatasi, Hendrawan menilai, akan sulit untuk menjaring turis yang berkualitas.
Karena itu, Hendrawan pun mendukung rencana untuk penarikan pungutan bagi wisman sebesar Rp150 ribu per orang mulai bulan Februari 2024 nanti.
“Tentu harus ada mekanisme yang jelas nantinya dari cara penarikan hingga pemanfaatannya,” ujarnya.
“Kita ingatkan sejak awal supaya ada transparansi dan jangan sampai ada korupsi sehingga wisman akan percaya dan memberikan dana secara sukarela, bahkan bisa lebih dari yang minimal,” tegas Hendrawan.
(*)