Tanggapan Menkes soal Polemik Vaksin Covid-19 AstraZeneca Picu Pembekuan Darah

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin merespons kabar vaksin AstraZeneca yang dipakai masyarakat Indonesia untuk mengatasi Covid-19 dapat memicu terjadinya Thrombosis Thrombocytopenia Syndrome (TTS) alias pembekuan darah.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 03 Mei 2024, 17:30 WIB
Diterbitkan 03 Mei 2024, 17:30 WIB
Menkes Raker dengan Komisi IX DPR Bahas Masalah Stunting
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin merespons kabar vaksin AstraZeneca yang dipakai masyarakat Indonesia untuk mengatasi Covid-19 dapat memicu terjadinya Thrombosis Thrombocytopenia Syndrome (TTS) alias pembekuan darah.

"Di bidang imunologi vaksinasi, dan saya ingat juga AstraZeneca ini isu mengenai itu sudah ada dulu waktu kita zamannya pandemi Covid-19. Seingat saya waktu itu memang ada risiko tersebut, kecil," ujar Budi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (3/5/2024).

"Tapi dilihat oleh dunia medis WHO, kan yang meng-approve langsung ini bilang bahwa benefitnya lebih besar dari pada risiko, sehingga waktu itu diberikan izin untuk dijalankan di seluruh dunia," kata Budi.

Menurut Budi, protokol yang diterapkan di Indonesia juga sama dengan dunia internasional. Ada pula Indonesia Technical Advisory Group of Immunization (ITAGI) yang memastikan segi keamanan dari pemberian vaksin Covid-19.

"Kita minta (ITAGI) untuk memberikan kajian ini vaksin-vaksin yang masuk ada Pfizer, AstraZeneca, Moderna, apalagi teknologi-teknologinya baru kan yang mRNA ini kan itu seperti apa. Dan kesimpulannya mereka sama, dilihat benefit sama risk. Jadi waktu itu kan kita yang terkena, kan sampai ratusan juta orang yang memiliki kemungkinan untuk mati," jelas Menkes.

Budi mengakui ada risiko dari pemakaian vaksin bagi tubuh manusia. Pasalnya, setiap tubuh memiliki genetik yang berbeda-beda, sehingga dampaknya pun dapat beragam.

"Ada beberapa yang mungkin cocok, ada beberapa yang mungkin tidak cocok. Dan pertimbangannya waktu itu adalah bahwa ini benefitnya juga lebih besar untuk melindungi masyarakat secara umum dibandingkan risiko," jelas Budi.

Dalam kasus ini, Budi membandingkan dengan tindakan operasi pada jantung. Semua pihak, termasuk dokter, mengetahui adanya risiko di balik langkah tersebut. Namun manfaat atau benefit untuk menyembuhkan penyakit jauh lebih besar.

"Dan alhamdulillah sampai sekarang saya cek datanya, apakah ada kejadian itu di Indonesia, apakah ada kejadian itu di luar negeri, mungkin ada. Nah, besarnya berapa banyak sekali lagi tergantung dari genetik. Karena beda-beda kan antara ras Jawa dengan ras Sumatera, dengan ras Sulawesi, Kalimantan, kan beda-beda," Budi menandaskan.

Heboh Vaksin COVID-19 AstraZeneca Miliki Efek Samping Langka

FOTO: 6 Jenis Vaksin COVID-19 yang Ditetapkan Pemerintah Indonesia
Gambar ilustrasi menunjukkan botol berstiker "Vaksin COVID-19" dan jarum suntik dengan logo perusahaan farmasi AstraZeneca, London, Inggris, 17 November 2020. Vaksin buatan AstraZeneca yang bekerja sama dengan Universitas Oxford ini disebut 70 persen ampuh melawan COVID-19. (JUSTIN TALLIS/AFP)

Produsen vaksin COVID-19 AstraZeneca sebelumnya dalam sebuah dokumen menulsikan bahwa ada efek samping langka dari vaksin buatannya.

AstraZeneca membenarkan bahwa suntikan vaksin COVID-19-nya dala kasus yang langka (in very rare cases) bisa memicu Trombositopenia atau Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome (TTS).

TTS merupakan penyakit yang menyebabkan penderita mengalami pembekuan darah serta trombosit darah yang rendah. Kasusnya sangat jarang terjadi di masyarakat tapi bisa menyebabkan gejala yang serius.

Mengingat vaksin COVID-19 dari AstraZeneca juga digunakan di Indonesia tentu hal ini turut membuat ketar-ketir masyarakat.

Terkait hal ini, Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Profesor Hinky Hindra Irawan Satari mengatakan tidak ada kejadian TTS usai divaksin COVID-19 AstraZeneca di Indonesia.

Hal ini berdasarkan surveilans aktif dan pasif yang sampai saat ini masih dilakukan oleh Komnas KIPI.

Surveilans aktif dilakukan Komnas KIPI bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI sesuai dengan arahan WHO. Ketiga lembaga ini melakukan surveilans aktif terhadap berbagai macam gejala atau penyakit yang dicurigai terkait dengan vaksin COVID-19 termasuk TTS.

Survei dilakukan di 14 rumah sakit di tujuh provinsi yang memenuhi kriteria selama lebih dari satu tahun yakni dari Maret 2021 hingga Juli 2022.

"Kami lanjutkan lebih dari setahun karena tidak ada gejalanya, jadi kami lanjutkan beberapa bulan untuk juga supaya memenuhi kebutuhan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk menyatakan ada atau tidak ada keterkaitan," kata Hinky.

"Sampai kami perpanjang juga tidak ada TTS pada AstraZeneca,” jelas Hinky dalam keterangan tertulis dari Kementerian Kesehatan RI yang diterima Liputan6.com pada Kamis, 2 Mei 2024.

"Jadi, kami melaporkan pada waktu itu tidak ada kasus TTS terkait vaksin COVID-19," lanjut Hinky.

Setelah surveilans aktif selesai, Komnas KIPI tetap melakukan surveilans pasif hingga hari ini. Berdasarkan laporan yang masuk, tidak ditemukan laporan kasus TTS usai penyuntikan vaksin COVID-19 Astrazeneca.

Hinky menerangkan KIPI alias Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) bila ditemukan penyakit atau gejala antara 4 sampai 42 hari setelah vaksin disuntikkan.

Sehingga, bila saat ini ditemukan TTS di Tanah Air, penyebabnya bukan karena suntikan vaksin COVID-19.

"Kalaupun saat ini ditemukan kasus TTS di Indonesia, ya pasti bukan karena vaksin COVID-19 karena sudah lewat rentang waktu kejadianya," jelas Hinky.

Infografis Perbandingan Vaksin Covid-19 Sinovac dengan AstraZeneca. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Perbandingan Vaksin Covid-19 Sinovac dengan AstraZeneca. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya