PDIP Usul MPR Kembali Berwenang Tetapkan GBHN Lewat Amandemen UUD 1945

Wacana amandemen Undang-Undang Dasar 1945 kembali mencuat usai pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 01 Jul 2024, 21:10 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2024, 21:10 WIB
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPD PDIP Jatim MH Said Abdullah. (Dian Kurniawan/Liputan6.com)
Ketua DPP PDIP Said Abdullah. (Dian Kurniawan/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Wacana amandemen Undang-Undang Dasar 1945 kembali mencuat usai pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan (PDIP), Said Abdullah, mengusulkan agar MPR RI kembali berwenang menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui amandemen UUD 1945.

"PDIP berpandangan perlunya MPR ditempatkan sebagai lembaga negara yang berwenang kembali menetapkan GBHN," kata Said Abdullah saat diwawancara wartawan, Senin (1/7/2024).

Menurut Said, tidak adanya GBHN membuat arah pembangunan mudah berganti seiring dengan pergantian presiden.

"Risikonya, presiden yang berbeda orientasi, maka berpotensi mengganggu kelangsungan tahapan pembangunan jangka panjang," ujar Said.

Politikus PDIP itu menilai, sejatinya undang-undang untuk mengatur rencana pembangunan jangka panjang sudah ada. Namun, kewenangan pengawasan hanya di DPR saja tidak termasuk lembaga lain seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Oleh karena itu, kata Said, diperlukan GBHN untuk mengatur hal tersebut.

"Dengan meletakkan kembali GBHN dalam ketatanegaraan kita, maka akan menguatkan pengawasan berbasis bikameral, yakni DPR dan DPD," ujar Said.

Selain itu, Said mengingatkan bahwa wacana amandemen UUD 1945 bukan untuk mengembalikan ke naskah aslinya. Namun, untuk menguatkan peran MPR dalam tata negara.

"Sebab, sejak amandemen keempat UUD 1945, peran MPR menjadi gamang. Hanya menjadi lembaga negara yang mengurus fungsi-fungsi formal kenegaraan seperti pelantikan presiden," pungkas Said.

Usai Bertemu Jokowi, Pimpinan MPR Tegaskan Tak Bisa Amandemen UUD 1945

Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah bertemu Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (28/6/2024). (Lizsa Egeham).

Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengungkapkan sejumlah hal yang dibahas saat pimpinan MPR saat bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (28/6/2024). Salah satunya, Basarah menegaskan bahwa pimpinan MPR periode saat ini tak bisa melakukan amandemen UUD 1945.

"Ditegaskan bahwa MPR di kepemimpinan kami sudah tidak dapat melaksanakan amandemen UUD 1945," kata Basarah usai pertemuan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (28/6/2024).

Menurut Basarah, masa tugas pimpinan MPR periode 2019-2024 tersisa tiga bulan dan akan berakhir pada Oktober mendatang. Sementara itu, MPR hanya dapat melakukan amandemen UUD 1945 apabila masa jabatannya lebih di atas enam bulan.

"Masa tugas kami tinggal 3 bulan, sementara tatib (tata tertib) memberikan batasan MPR dapat mengubah UUD kalau masa jabatannya lebih di atas 6 bulan, kami sudah kurang dari 3 bulan lagi," jelas Basarah.

Ketua DPP PDIP itu tidak memberi tahu respons Jokowi terkait hal tersebut. Namun, Basarah menuturkan wacana amandemen UUD 1945 akan diserahkan kepada pimpinan MPR periode 2024-2029.

"Sehingga wacana (amandemen UUD) itu menjadi wacana dan kita serahkan pada MPR periode berikutnya," tutur Basarah.

Amien Rais Usul Pemilihan Presiden Melalui MPR

Sambangi KPK, Amien Rais Temui Agus Rahardjo
Amien Rais. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Sebelumnya, Ketua MPR 1999 -2004 Amien Rais mengusulkan amandemen UUD 1945 dan pemilihan presiden lewat MPR. Amien Rais mengusulkan adanya amandemen UUD 1945 itu setelah merasa bahwa pelaksanaan demokrasi saat ini merosot jauh.

Awalnya Amien Rais menceritakan saat menjabat Ketua MPR dan mengubah aturan yang berlaku, yaitu presiden dipilih MPR diubah menjadi dipilih langsung rakyat. Saat itu, Amien Rais merasa pemilihan umum langsung lebih baik karena bisa mencegah terjadinya politik transaksional.

"Jadi mengapa dulu saya selaku ketua MPR itu melucuti kekuasaannya (MPR) sebagai lembaga tertinggi yang memilih presiden dan wakil presiden, itu karena penghitungan kami dulu perhitungannya agak naif," ujar Amien Rais usai bertemu pimpinan MPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu, 5 Juni 2024.

Amien mengaku menyesal telah mengubah aturan itu setelah melihat pelaksanaan pemilu sekarang yang sangat buruk. Dia mengatakan pemilu saat ini mengandalkan uang dalam jumlah besar.

"Sekarang saya minta maaf. Jadi dulu, itu kita mengatakan kalau dipilih langsung one man one vote, mana mungkin ada orang mau menyogok 120 juta pemilih, mana mungkin? Perlu puluhan mungkin ratusan triliun (rupiah). Ternyata mungkin. Nah, itu," ucap dia.

"Itu (politik uang) luar biasa. Jadi sekarang kalau (presiden) mau dikembalikan dipilih MPR, mengapa tidak?" sambung Amien Rais yang juga merupakan eks Ketua Umum PAN.

Infografis Jokowi dan Keluarga Dilaporkan Kolusi-Nepotisme ke KPK. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Jokowi dan Keluarga Dilaporkan Kolusi-Nepotisme ke KPK. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya