Sidang Gugatan PDIP Terhadap KPU RI Kembali Digelar di PTUN Jakarta, Hadirkan Saksi Penggugat

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menggelar sidang lanjutan terkait gugatan Tim Hukum PDI Perjuangan (PDIP) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada Kamis (1/8/2024).

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 01 Agu 2024, 17:56 WIB
Diterbitkan 01 Agu 2024, 17:41 WIB
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menggelar sidang lanjutan terkait gugatan Tim Hukum PDI Perjuangan (PDIP) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menggelar sidang lanjutan terkait gugatan Tim Hukum PDI Perjuangan (PDIP) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada Kamis (1/8/2024). (Foto: Dokumentasi PDIP).

Liputan6.com, Jakarta Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menggelar sidang lanjutan terkait gugatan Tim Hukum PDI Perjuangan (PDIP) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada Kamis (1/8/2024).

Sidang yang digelar di Ruang Kartika, Gedung PTUN Jakarta, Jakarta Timur ini, mengagendakan mendengar keterangan saksi dari penggugat yakni Tim Hukum PDIP.

Sidang ini dipimpin langsung oleh Ketua Majelis PTUN Jakarta, Joko Setiono.

Sementara, tampak terlihat Ketua Tim Hukum PDIP yakni Prof. Gayus Lumbuun beserta tim hadir dalam persidangan itu. Persidangan dimulai sekira pukul 11.00 WIB.

Disela-sela persidangan, Gayus Lumbuun mengatakan bahwa agenda sidang hari ini mendengarkan saksi fakta bernama Chandra.

Dimana, saksi menjelaskan terkait gugatan tim hukum PDIP tentang pelanggaran melawan hukum oleh pejabat negara, yaitu KPU.

“Kemudian saksi tadi, beberapa pertanyaan antara lain adalah mengenai bagaimana saksi mengalami sebagai bagian dari PDI Perjuangan itu bertugas di KPU, adanya proses yang di mana KPU membuat keputusan agar semua partai politik, peserta pemilu itu memedomani putusan MK nomor 90,” kata Gayus.

“Diuraikan dengan jelas bahwa memang itu satu penyimpangan bagi peserta Pemilu, karena memang sewajarnya tidak langsung diberlakukan dengan cara meminta peserta pemilu, parpol itu menaati bahkan menggunakan putusan 90 tahun 2023 itu sebagai arah, sebagai pedoman, kira-kira itu diantaranya,” sambung dia.

Gayus pun menilai, pernyataan saksi ini membuktikan adanya suatu proses pelanggaran, tidak melalui undang-undang. Yakni, putusan No. 90 MK yang mewajibkan ke DPR untuk dengar pendapat atau ke Presiden.

“Tapi malah yang bersangkutan, dijelaskan tadi ke Menkumham,” terangnya.

 

Esensi Gugatan

Dia juga menyebut, Menkumham justru juga menyarankan agar kembali ke DPR untuk membahas putusan No.90 MK. Namun, hal itu tidak kembalikan ke DPR dan KPU malah menerbitkan surat kepada para parpol.

“Ini yang memang esensi dari gugatan kami, dimana ada pelanggaran-pelanggaran hukum oleh penguasa atau oleh penyelenggara negara,” jelasnya.

Sementara, anggota Tim Hukum PDIP Alvon Kurnia Palma menambahkan, bahwa dari keterangan saksi dalam persidangan terungkap fakta, bahwa KPU sebagai tergugat itu tidak menjalankan kewenangan yang seharusnya kewenangan dilakukan.

Pertama, kata Alvon, menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka, di mana pendaftaran itu harus mengecek terlebih dahulu dan kemudian memverifikasi.

Sebab, peraturan KPU no 19 menjelaskan apabila ada ketidakbenaran, ketidaklengkapan, harus dikembalikan dan kemudian dicek lagi untuk memperbaiki.

“Karena ini berdasarkan dalam surat nomor 1145 dan ditambah dengan surat keputusan nomor 1378. Intinya dia mempedomani dari peraturan KPU nomor 19 tahun 2023. Itu satu soal,” ucap Alvon.

Kemudian, soal lainnya terungkap fakta bahwa ternyata KPU tidak hanya perbuatan mengabaikan, tetapi juga perbuatan melakukan untuk komisinya.

“Yang namanya peraturan KPU itu harus berlandaskan kepada peraturan perundangan-undangan 7 tahun 2017, tetapi faktanya tidak, langsung kepada keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 90. Yang harusnya, harus ada langkah-langkah seperti dikatakan oleh Prof. Gayus tadi.”

“Pertama dia harus konsultasi, kemudian setelah itu dia akan meminta konsultasi, sinkronisasi dari Dirjen PP dan kemudian selanjutnya di RDPU, di DPR RI.”

“Nah, jadi langsung saja itu dilakukan dan kemudian langkah-langkah, tahapan-tahapan yang mestinya harus berdasarkan 19 itu tidak dilakukan. Tetapi langsung berdasarkan peraturan KPU nomor 23 tahun 2023,” papar Alvon.

Dia pun menyebut, hal tersebut bisa diartikan bahwa tiga tahapan, seperti itu pendaftaran, verifikasi dan lainnya, tidak berdasarkan peraturan KPU. Tapi langsung menggunakan peraturan KPU nomor 23 tahun 2023.

“Jadi itu fakta yang terungkap dalam proses pembuktian pada saat ini yang disampaikan oleh Bapak Candra tadi. Itu kira-kira,” kata Alvon.

 

Beberapa Keganjilan

Anggota Tim Hukum PDIP David Surya pun menambahkan, dalam fakta persidangan terungkap beberapa keganjilan. Pertama, ada berita acara rapat pleno tentang penerbitan surat edaran kepada parpol. Dimana, isi di berita acaranya itu berbeda dengan surat yang diterbitkan.

“Isinya adalah KPU mempedomani putusan MK, tapi sedangkan di surat edarannya justru malah meminta partai politik peserta pemilu ikut mempedomani,” ujar David.

Lalu kedua, adalah sikap KPU ketika menyikapi putusan Mahkamah Agung nomor 28 yang membatalkan putusan PKPU 10 dan 11 di September 2023. Dimana, ketika ada putusan Mahkamah Agung, KPU membutuhkan waktu berhari-hari baru kemudian menerbitkan surat edaran agar peserta politik mempedomani putusan MA.

Tetapi, hal berbeda dilakukan KPU ketika terbit putusan MK No 90.

“Baru sehari di tanggal 16 Oktober, sehari kemudian 17 Oktober sudah langsung terbit surat edaran tanpa ada FGD, tanpa ada rapat koordinasi, tanpa ada apapun. Jelas terlihat bahwa seolah-olah KPU lebih tunduk kepada Mahkamah Konstitusi daripada kepada Mahkamah Agung,” kata David.

“Dan ini mungkin juga ada kecenderungan kepentingan-kepentingan dari KPU. Ya itu keganjilan-keganjilan yang terungkap di fakta persidangan hari ini,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya