Liputan6.com, Jakarta - Menteri Komdigi (Komunikasi dan Digital) Meutya Hafid menyatakan pandangannya tentang masa depan AI atau kecerdasan buatan dalam forum teknologi global Machines Can See 2025 di Dubai.
Dalam kesempatan itu, Menkomdigi menyatakan kalau masa depan AI bukan hak istimewa segelintir, tapi warisan bersama umat manusia. Untuk itu, ia menyerukan perlunya membangun ekosistem AI yang etis, inklusif, dan mencerminkan keberagaman dunia.
Advertisement
Baca Juga
"Teknologi harus mencerminkan keberagaman dunia, bukan hanya prioritas segelintir orang," tutur Menkomdigi dalam event tersebut seperti dikutip dari siaran pers yang diterima, Kamis (24/4/2025).
Advertisement
Dengan lebih dari 212 juta pengguna internet dan populasi keempat terbesar di dunia, Indonesia menempatkan diri sebagai aktor kunci dalam percaturan digital global. Meutya menyebut posisi Indonesia saat ini sangat strategis—secara demografis, digital, dan geopolitik.
Lebih lanjut, Meutya menyoroti pendekatan kolaboratif Indonesia dengan negara-negara BRICS dalam membangun ekosistem AI yang bertanggung jawab.
Fokus kerja sama ini mencakup kesetaraan akses digital, penguatan perspektif global selatan, serta pemanfaatan AI untuk menjawab kebutuhan nyata masyarakat, seperti pertanian cerdas, pemantauan bencana, hingga diagnostik kesehatan jarak jauh.
Program-program berbasis AI telah disiapkan, termasuk aplikasi untuk ketahanan pangan, sistem perlindungan sosial, serta layanan kesehatan gratis untuk publik.
"Keamanan pangan menjadi perhatian Presiden Prabowo, terutama di tengah situasi geopolitik saat ini. Dan juga pendidikan merupakan keyakinan mendasar yang dipegang teguh Indonesia, karena dengan AI, kita percaya bahwa AI tidak hanya itu, mereka yang merancang dan mengatur AI harus lebih pintar dari AI itu sendiri," tuturnya lebih lanjut.
AI untuk Layanan Publik
Dalam rangka menyongsong masa depan digital, pemerintah Indonesia sendiri telah menargetkan penciptaan sembilan juta talenta digital pada tahun 2030.
Tidak hanya itu, pemerintah juga sudah mulai menerapkan sistem AI dalam layanan publik. Salah satunya adalah program perlindungan sosial berbasis AI dijadwalkan akan diluncurkan pada Agustus 2025.
Selain itu, AI juga digunakan untuk mendukung layanan pemeriksaan kesehatan gratis serta distribusi makanan bergizi bagi pelajar, sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh.
Pemerintah tengah menyiapkan pelelangan spektrum frekuensi 2,6 GHz dan 3,5 GHz, memperluas jaringan serat optik, serta membangun kabel bawah laut guna meningkatkan konektivitas digital nasional.
“Ini sebuah kemajuan, tetapi tetap mengingatkan kita tentang skala tantangan untuk membangun konektivitas yang cepat dan andal di 17.000 pulau di Indonesia,” ucapnya.
Advertisement
Diaspora jadi Perhatian Serius
Isu diaspora digital juga menjadi bagian dari perhatian serius pemerintah. Tercatat sekitar delapan juta WNI tinggal di luar negeri, termasuk 20.000 orang yang bekerja di Silicon Valley—pusat inovasi teknologi dunia.
Untuk itu, Meutya menekankan pentingnya melihat diaspora ini sebagai aset bangsa.
"Jadi mereka sekarang berkecimpung dalam bidang inovasi perangkat lunak AI, sementara banyak dari mereka mungkin tidak lagi terhubung erat dengan lanskap domestik Indonesia, tetapi kami masih melihat mereka sebagai bagian dari kekuatan nasional kami. Kami lebih suka menggunakan istilah brain link daripada brain drain," tuturnya.
Lalu dengan semangat inklusivitas, Indonesia juga sedang membangun pusat keunggulan AI di berbagai kota strategis seperti Bandung, Surabaya, dan Papua.
