Liputan6.com, Jakarta - Usulan pernikahan antara janda kaya dan pemuda miskin yang diajukan oleh calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut 1 Suswono cukup menimbulkan kontroversi.
Pernyataan Suswono tersebut pun membuat organisasi masyarakat Betawi Bangkit melaporkan Suswono pun atas kasus dugaan penistaan agama.
Baca Juga
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sendiri telah menerbitkan formulir laporan bernomor 012/PL/PG/Prov/12.00/X/2024 dengan identitas pelapor David Darmawan. Dalam laporan tersebut, Suswono dilaporkan atas dugaan tindak pidana penistaan agama.
Advertisement
Dalam laporan tersebut, Suswono berstatus sebagai pihak terlapor atas dugaan tindak pidana penistaan agama. Suswono dianggap menyinggung Nabi Muhammad SAW dan istrinya, Khadijah, dengan guyonan pengangguran dan janda kaya.
Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menilai, usul janda kaya menikahi pemuda miskin, dinilai gagasan jauh dari realistis.
"Tidak semudah itu dalam perjodohan. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan, termasuk kecocokan personal, bukan hanya status ekonomi. Belum lagi soal apakah mereka berjodoh atau tidak, itu bukan hal yang bisa dipaksakan," ujar Ujang melalui keterangan tertulis, Rabu (13/11/2024).
Ia pun mempertanyakan dasar gagasan ini, terutama terkait dengan data janda kaya dan pemuda miskin di Jakarta. Tanpa data yang jelas, Ujang menilai gagasan ini hanya terlihat sebagai janji politik kosong.
"Di Jakarta, kemiskinan mencakup lebih dari sekadar kurangnya uang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa per Maret 2023, angka kemiskinan mencapai 4,47 persen atau sekitar 492 ribu orang," ucap dia.
"Masalah kemiskinan di Jakarta tidak hanya terkait dengan kesenjangan ekonomi, tetapi juga mencakup kurangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan," sambung Ujang.
Menurut Ujang, solusi kemiskinan seharusnya menyentuh akar masalah, bukan melalui pernikahan sebagai jalan pintas.
Fokus Kebijakan Harusnya Diarahkan pada Program Pemberdayaan Ekonomi
Lebih lanjut, Ujang menyebut, program seperti ini mengesankan seolah-olah kemiskinan dapat diatasi dengan cara-cara instan yang justru dapat memperburuk keadaan.
"Kalau pernikahan tersebut tidak berlandaskan kecocokan yang kuat, justru rentan untuk mengalami kegagalan, yang pada akhirnya malah memperparah kondisi sosial ekonomi," kata dia.
Menurut Ujang, fokus kebijakan seharusnya lebih diarahkan pada program pemberdayaan ekonomi dan peningkatan keterampilan. Ia menyarankan agar pemuda miskin diberikan pelatihan keterampilan yang dapat meningkatkan kemampuan dan membuka peluang ekonomi baru.
"Solusi ini lebih tepat sasaran dibanding mengandalkan pernikahan," terang Ujang.
Selain itu, Ujang juga menekankan pentingnya pendekatan berbasis data. Jika tidak dilandasi data yang kuat, kebijakan ini hanya akan terkesan sebagai strategi politis yang tidak berdampak jangka panjang. Basis data yang komprehensif diperlukan agar kebijakan yang diusulkan memiliki dampak nyata.
"Masalah pengangguran juga menjadi sorotan dalam kritik terhadap ide ini. Data BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka di Jakarta pada Februari 2023 sebesar 8,67 persen, menunjukkan banyaknya pemuda yang masih membutuhkan pekerjaan," kata Ujang.
Advertisement
Dinilai Tak Selesaikan Masalah Pengangguran
Menurut Ujang, ide pernikahan ini tidak menyelesaikan masalah pengangguran yang menjadi salah satu faktor utama kemiskinan di Jakarta. Dia juga menyoroti dampak negatif pada tatanan sosial akibat ide ini.
"Menjadikan pernikahan sebagai alat untuk mengentaskan kemiskinan, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai personal, dikhawatirkan akan merusak esensi pernikahan itu sendiri," papar dia.
Ujang mempertanyakan tujuan di balik ide ini, apakah benar-benar untuk mengatasi kemiskinan atau hanya sebagai upaya menarik perhatian publik. Menurutnya, gagasan ini lebih menyerupai gimik politik yang tidak memiliki dasar kajian ilmiah yang kuat.
Ia menyarankan agar fokus kampanye diarahkan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin melalui penyediaan lapangan pekerjaan, akses pendidikan, dan fasilitas kesehatan yang layak.
"Masalah kemiskinan di Jakarta perlu diatasi dengan kebijakan yang berfokus pada penguatan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat, bukan melalui pernikahan yang belum tentu relevan sebagai solusi struktural," kata Ujang.
"Masyarakat miskin butuh solusi konkret, bukan sekadar wacana yang tidak berdasar. Program ini terkesan simbolis dan kurang efektif dalam meningkatkan kemandirian ekonomi jangka panjang para penerima bantuan," sambung dia.
Cara Penanganan Kemiskinan
Ujang menilai, hanya memberikan bantuan berupa uang atau barang dinilai tidak cukup, karena tidak menciptakan sumber pendapatan yang berkelanjutan.
"Program pelatihan keterampilan, pendampingan usaha, atau pemberian modal usaha dinilai dapat lebih membantu para janda agar mereka memiliki kemampuan yang dapat menopang kehidupan mereka secara mandiri dalam jangka panjang," terang dia.
Tanpa adanya upaya yang mendorong kemandirian, lanjut Ujang, program ini dikhawatirkan hanya akan menjadi solusi sementara, yang berhenti pada penyaluran bantuan semata tanpa membekali keterampilan atau peningkatan kapasitas bagi penerimanya.
"Apakah pernikahan antara janda kaya dan pemuda miskin otomatis akan mengentaskan kemiskinan? Belum tentu. Jika tidak ada fondasi yang kuat dalam pernikahan, keluarga yang dibangun justru rentan berantakan, dan ini akan membawa dampak sosial yang lebih buruk," kata Ujang.
"Penanganan kemiskinan tidak bisa dilakukan dengan ide-ide instan yang tidak didukung data dan riset. Solusi yang diharapkan adalah yang berfokus pada pemberdayaan ekonomi jangka panjang dan tidak hanya mengandalkan pernikahan sebagai jalan keluar dari masalah kemiskinan," tandas dia.
Untuk diketahui, ide Suswono disampaikan saat membahas program kartu anak yatim saat debat kedua Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Jakarta pada 26 Oktober 2024.
Namun, para orang tua tunggal, terutama dari kalangan ibu-ibu mempertanyakan program kesejahteraan serupa. Saat itu, Suswono menyebut agar janda kaya menikahi pemuda menganggur, lalu mencontohkan kisah Nabi Muhammad yang menikah dengan Siti Khadijah.
"Setuju ya? Coba ingat Khadijah. Tahu Khadijah? Dia kan konglomerat. Nikahi siapa? Ya Nabi (Muhammad) waktu itu belum jadi Nabi, masih 25 tahun. Pemuda kan? Nah, itu contoh (janda) kaya begitu," ujar Suswono.
Advertisement