Ironi Negeri Cincin Api, Dikepung Gempa tapi Anggaran Mitigasi Bencana Dipangkas

Penurunan anggaran yang menyentuh angka lebih dari 50 persen ini diakui oleh BMKG akan mempengaruhi kegiatan mitigasi bencana gempa, serta persoalan ketahanan iklim. Termasuk pemeliharaan alat-alat deteksi bencana yang hingga saat ini banyak yang rusak.

oleh Luqman RimadiWinda Nelfira diperbarui 11 Feb 2025, 11:12 WIB
Diterbitkan 11 Feb 2025, 11:08 WIB
Ilustrasi Gempa (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)
Ilustrasi Gempa bumi. (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, Presiden Prabowo Subianto menginisiasikan arahan efisiensi anggaran agar kas negara dapat digunakan untuk program yang lebih berdampak langsung terhadap masyarakat. Dia menyebut dalam hal ini, Makan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan dan energi, hingga perbaikan sektor kesehatan. Sayangnya anggaran antisipasi dan mitigasi bencana tidak termasuk dalam program berdampak pada masyarakat, seperti yang dimaksud. 

Karena hal itu, BMKG masuk dalam daftar Kementerian dan lembaga yang harus diefisienkan hingga 50 persen. Total pagu indikatif APBN 2025 hasil efisiensi yang disahkan untuk BMKG adalah senilai Rp1,403 triliun dari sebelumnya senilai Rp2,826 triliun.

Penurunan anggaran yang menyentuh angka lebih dari 50 persen ini diakui oleh BMKG akan mempengaruhi kegiatan mitigasi bencana serta persoalan ketahanan iklim. Termasuk pemeliharaan alat-alat deteksi bencana yang hingga saat ini banyak yang rusak. 

BMKG menilai efisiensi anggaran ini berdampak pada banyak Alat Operasional Utama (Aloptama) yang terancam mati karena kemampuan untuk pemeliharaan berkurang hingga sebesar 71 persen. Sehingga, observasi dan kemampuan mendeteksi dinamika cuaca, iklim, kualitas udara, gempabumi, dan tsunami juga terganggu.

Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BMKG Muslihhuddin mengatakan hingga saat ini saja, hampir 600 alat sensor untuk pemantauan gempa bumi dan juga tsunami yang tersebar di seluruh Indonesia merupakan salah satu Aloptama yang dimiliki oleh BMKG dan mayoritas kondisinya saat ini sudah melampaui usia kelayakan.

"Ketepatan akurasi informasi cuaca, iklim, gempabumi dan tsunami menurun dari 90 persen menjadi 60 persen dan kecepatan informasi peringatan dini tsunami dari 3 menit turun menjadi 5 menit atau lebih dan jangkauan penyebarluasan informasi gempabumi dan tsunami menurun 70 persen,” kata dia. 

Tak hanya itu, BMKG bahkan mengatakan, keselamatan transportasi udara akan terancam dengan adanya pemotongan anggaran pemeliharaan alat ini. Menurut Muslihhuddin, kajian tentang dinamika iklim dan tektonik jangka menengah dan panjang di Indonesia sulit terlaksana, modernisasi sistem dan peralatan operasional BMKG yang terhenti termasuk keselamatan transportasi udara yang membutuhkan akurasi 100 persen tidak terwujud, dan keselamatan transportasi laut terganggu.

Belum lagi ancaman tersendatnya dukungan layanan untuk ketahanan pangan, energi, air menjadi terganggu, dukungan layanan untuk pembangunan berketahanan iklim dan bencana. 

"Peran BMKG sebagai penyedia peringatan dini tsunami di Samudera Hindia dan ASEAN terganggu,” kata dia.

Mitigasi Bencana Tak Bisa Diabaikan

Memutar Ulang Ingatan Kuat dan Ganasnya Tsunami Aceh 20 Tahun Lalu
Tidak hanya Indonesia, gelombang tsunami menerpa sejumlah pesisir negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand dan Myanmar hingga di beberapa negara Asia Selatan, termasuk Sri Lanka, Maldives, dan India. Setidaknya 16 negara yang terkena dampak akibat gempa dan tsunami ini. (Yasuyoshi CHIBA/AFP)... Selengkapnya

BMKG pun menegaskan, mitigasi ancaman bencana Geo-Hidrometeorologi di Indonesia menjadi hal mutlak dan tidak dapat diabaikan karena menyangkut keselamatan masyarakat luas.

Sadar akan pentingnya mitigasi bencana ini, dengan memperhatikan faktor ketahanan negara dan keselamatan masyarakat Indonesia dari ancaman bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi, BMKG mengajukan permohonan dispensasi anggaran.

"Oleh karena itu perlu adanya dukungan yang berfungsi secara maksimal dalam membangun masyarakat yang tahan bencana,” kata dia. 

Ancaman gempa yang bisa datang sewaktu-waktu ini tentunya harus dianggap penting oleh pemerintah. Posisi Indonesia yang berada di pertemuan tiga lempeng tektonik utama yang terus bergerak, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik  ini, menyebabkan aktivitas seismik yang tinggi. Hal itu menjadkan Indonesia masuk dalam kawasan rawan gempa bumi dan tsunami.

Selain itu, Indonesia juga termasuk dalam Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), yaitu jalur gunung berapi aktif yang juga menjadi penyebab seringnya terjadi gempa.

Kondisi ini harusnya menjadi pertimbangan pemerintah, bahwa anggaran mitigasi bencana di kementerian lembaga seperti BMKG dan BNPB juga sama pentingnya dengan makan bergizi gratis atau cek kesehatan gratis yang tengah digeber pemerintah. 

Pakar Kebencanaan dari Universitas Hasanuddin, Adi Maulana menilai Kebijakan memtong anggaran BMKG hingga 50 persen akan membawa dampak besar terhadap program pengurangan risiko bencana di Indonesia.

Dia mengatakan, sebagai negara yang terletak di pertemuan tiga lempeng besar dunia, Indonesia memiliki tingkat kerawanan bencana geologi yang sangat tinggi. "Hampir sekitar 60 persen wilayah Indonesia merupakan wilayah rentan gempa bumi dengan tingkat sedang hingga tinggi," ujar Adi saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (11/2/2025). 

 

 

Ancaman Jutaan Nyawa Masyarakat

Sebanyak 109 rumah terdampak musibah gempa bumi Garut-Bandung magnitudo 5.0, di wilayah kabupaten Garut, Jawa Barat, telah memenuhi kualifikasi BNPB untuk mendapatkan bantuan. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)
Sebanyak 109 rumah terdampak musibah gempa bumi Garut-Bandung magnitudo 5.0, di wilayah kabupaten Garut, Jawa Barat, telah memenuhi kualifikasi BNPB untuk mendapatkan bantuan. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)... Selengkapnya

Interaksi antar lempeng tersebut juga menghasilkan lebih dari 120 gunung api aktif, yang mencakup sepertiga dari jumlah gunung api di dunia. Selain itu, terdapat 16 zona megathrust, wilayah tunjaman lempeng yang berpotensi menghasilkan gempa besar dan tsunami.

Kondisi ini kata Adi, menuntut upaya mitigasi bencana yang terstruktur, terutama dalam pengembangan sistem peringatan dini yang membutuhkan peralatan modern.

"Menghadapi bencana kurang lebih sama dengan menghadapi perang, di mana kita tidak pernah tahu kapan musuh akan menyerang, namun potensi ancamannya nyata setiap saat," tambah Adi Maulana.

Adi menambahkan, salah satu kebutuhan mendesak adalah pemasangan alat pendeteksi tsunami di zona-zona megathrust.

"Alat ini sangat penting untuk memberikan peringatan dini sebelum gelombang tsunami sampai ke daratan. Selain itu, alat pendeteksi letusan gunung api diperlukan untuk mengukur tingkat erupsi, serta alat deteksi gempa yang berperan dalam analisis mitigasi daerah rawan gempa," 

Menurutnya, dalam menghadapi bencana yang bisa terjadi kapan saja, peran sistem mitigasi dan peringatan dini sangat krusial.

Dia menekankan, pengurangan anggaran untuk lembaga-lembaga yang bertanggung jawab dalam deteksi dan mitigasi bencana bisa berakibat fatal bagi keselamatan masyarakat luas.

"Diperlukan langkah-langkah strategis agar kebijakan efisiensi tidak mengorbankan aspek mitigasi bencana yang vital bagi ketahanan nasional," kata dia. 

INFOGRAFIS: Deretan Gempa Terbesar di Indonesia dalam 5 Tahun Terakhir (Liputan6.com / Abdillah)
INFOGRAFIS: Deretan Gempa Terbesar di Indonesia dalam 5 Tahun Terakhir (Liputan6.com / Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya