Liputan6.com, Jakarta - Sidang perdana kasus korupsi impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (6/3/2025).
Kasus ini diduga merugikan negara hingga Rp578 miliar, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) mendakwa Tom Lembong telah mengeluarkan izin impor gula kristal mentah (GKM) kepada 10 perusahaan swasta tanpa mengikuti prosedur yang benar, tanpa rapat koordinasi antar kementerian dan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Baca Juga
Dakwaan menyebutkan, Tom Lembong memberikan persetujuan impor GKM periode 2015-2016 kepada perusahaan-perusahaan tersebut, bahkan memberikan izin pengolahan GKM menjadi gula kristal putih (GKP) meskipun produksi gula dalam negeri saat itu mencukupi.
Advertisement
Perbuatan ini dianggap melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Selain itu, Tom Lembong juga dituduh tidak melibatkan BUMN dalam pengendalian harga dan ketersediaan gula, melainkan justru menunjuk koperasi-koperasi dan memberikan tugas pengadaan GKP kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Duduk Perkara Kasus Korupsi Impor Gula
Jaksa Penuntut Umum (JPU) membeberkan kronologi kasus ini dimulai dari persetujuan impor GKM yang dikeluarkan Tom Lembong pada tahun 2015-2016.
Persetujuan tersebut diberikan kepada 10 perusahaan swasta, di antaranya PT Andalan Furnindo (Wisnu Hendraningrat), PT Duta Sugar International (Hendrogiarto A Tiwow), PT Berkah Manis Makmur (Hans Falita Hutama), PT Kebun Tebu Mas (Ali Sandjaja Boedidarmo), dan PT Dharmapala Usaha Sukses (Ramakrishna Prasad Venkatesha Murthy). Persetujuan ini diberikan tanpa melalui rapat koordinasi dan rekomendasi dari kementerian terkait, termasuk Kemenperin.
Lebih lanjut, JPU juga menjelaskan bahwa Tom Lembong memberikan izin impor GKM untuk diolah menjadi GKP kepada delapan perusahaan swasta, meskipun produksi gula dalam negeri saat itu sudah mencukupi.
Salah satu contohnya adalah pemberian surat pengakuan importir produsen GKM kepada Tony Wijaya Ng melalui PT Angels Products pada tahun 2015. Hal ini terjadi di saat musim giling, dan produksi gula dalam negeri sudah memenuhi kebutuhan.
Selain itu, Tom Lembong juga dituduh tidak menunjuk perusahaan BUMN untuk mengendalikan ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan justru menunjuk beberapa koperasi.
Ia juga menugaskan PT PPI untuk melakukan pengadaan GKP, bekerja sama dengan produsen gula rafinasi. Jaksa mengungkapkan adanya kesepakatan pengaturan harga jual gula antara Charles Sitorus (mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI) dan sembilan pihak swasta lainnya, yang mengatur harga jual gula dari produsen ke PT PPI dan dari PT PPI ke distributor, di atas Harga Patokan Petani.
Dalam sidang, Tom Lembong menyatakan kekecewaannya terhadap isi surat dakwaan, khususnya mengenai ketidakjelasan perhitungan kerugian negara dan tidak adanya lampiran audit BPKP yang menjelaskan dasar perhitungan tersebut. Ia juga membantah semua tuduhan yang dilayangkan kepadanya.
Advertisement
Peran Pihak Swasta dan PT PPI
Jaksa mengungkapkan pertemuan-pertemuan yang dilakukan Tom Lembong dengan berbagai pihak, termasuk pejabat Kementerian Perdagangan, perwakilan pabrik gula rafinasi, dan Charles Sitorus dari PT PPI. Pertemuan-pertemuan tersebut membahas teknis penugasan impor gula kepada pabrik swasta dan kerja sama dengan PT PPI untuk memenuhi kebutuhan gula dalam rangka operasi pasar. Pertemuan lanjutan juga dilakukan di Hotel Ritz Carlton SCBD Jakarta Selatan untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut.
Sebanyak 10 petinggi perusahaan swasta juga disebut terlibat dalam kasus ini, antara lain Tony Wijaya NG, Then Surianto Eka Prasetya, Hansen Setiawan, Indra Suryaningrat, Eka Sapanca, dan Wisnu Hendraningrat. Mereka diduga diuntungkan dari kebijakan impor gula yang dikeluarkan Tom Lembong.
Peran PT PPI dalam kasus ini juga menjadi sorotan. PT PPI ditugaskan untuk mengadakan GKP, padahal seharusnya BUMN yang bertanggung jawab atas pengendalian distribusi gula dalam rangka pembentukan stok gula dan stabilisasi harga melalui operasi pasar atau pasar murah. Hal ini menunjukkan adanya dugaan penyimpangan dan ketidakpatuhan terhadap prosedur yang berlaku.
Sidang perdana ini baru merupakan awal dari proses hukum yang panjang. Publik berharap agar kasus ini dapat diusut tuntas dan keadilan dapat ditegakkan.
Reaksi Tom Lembong
Tom Lembong menyatakan kekecewaannya terhadap dakwaan yang dilayangkan kepadanya. Ia mempertanyakan ketidakjelasan perhitungan kerugian negara dan tidak adanya lampiran audit BPKP yang menjelaskan dasar perhitungan tersebut. Ini menunjukkan adanya keraguan Tom Lembong terhadap validitas dakwaan yang disampaikan oleh JPU.
Pernyataan Tom Lembong ini akan menjadi bahan pertimbangan bagi majelis hakim dalam proses persidangan selanjutnya. Bagaimana majelis hakim akan menanggapi bantahan dan argumen Tom Lembong akan menjadi poin penting dalam menentukan keputusan akhir.
Proses hukum masih akan berlanjut, dan publik menantikan bagaimana pengadilan akan memutuskan kasus ini. Keadilan dan transparansi menjadi harapan utama dalam kasus korupsi impor gula ini.
Advertisement
