Hakim Agung: Banyak Salah Persepsi Soal `Pembuktian Terbalik`

Hakim Agung Salman Luthan mengatakan, selama ini masyarakat masih salah perspektif mengenai frasa 'pembuktian terbalik'.

oleh Oscar Ferri diperbarui 18 Jul 2013, 11:27 WIB
Diterbitkan 18 Jul 2013, 11:27 WIB
hukum-iluts130718b.jpg
Hakim Agung Salman Luthan mengatakan, selama ini masyarakat masih salah perspektif mengenai frasa 'pembuktian terbalik'. Frasa tersebut merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris 'reseval burden of proof', dan dari Bahasa Belanda 'omkering van het bewijslast'.

"Menurut beberapa pakar hukum pidana, seperti Indriyanti Seno Aji dan Andi Hamzah, bahwa terjemahan yang lebih tepat adalah 'pembalikan beban pembuktian', bukan 'pembuktian terbalik'," kata Salman dalam diskusi di Gedung MA, Jakarta, Kamis (18/7/2013).

Salman menjelaskan, pembalikan beban pembuktian secara sederhana dapat dikonsepsikan sebagai pengalihan beban tanggung jawab atau kewajiban dari jaksa penuntut umum (JPU) kepada terdakwa untuk membukti bahwa terdakwa tersebut terbukti atau tidak terbukti melakukan pidana.

Menurut Salman, jika fokus JPU dalam proses pembuktian adalah membuktikan terdakwa terbukti melakukan pidana, maka dalam pembalikan beban pembuktian fokus pembuktian dilakukan terdakwa.

"Pembuktian sebaliknya adalah bahwa terdakwa membuktikan tidak melakukan pidana yang didakwakan kepadanya dan tidak bersalah melakukan pidana itu. Jika dia tidak bisa membuktikan itu, maka hakim akan menyatakan dia terbukti melakukan pidana dan akan dibuktikan juga kesalahannya," ujar Salman.

Di Indonesia, model pembuktian terbalik ini digunakan untuk kasus pencucian uang. Kasus yang menggunakan asas pembuktian terbalik adalah kasus Bahasyim Assifie.

Bahasyim diminta membuktikan apakah harta senilai Rp 61 miliar miliknya berasal dari korupsi atau bukan. Mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak itu akhirnya dinyatakan telah melakukan pencucian uang. (Eks/Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya