Ketua MK: Aturan Pengetatan Remisi Koruptor Diskriminatif

PP yang mengatur soal pengetatan remisi bagi narapidana (napi), khususnya kasus narkoba, terorisme, dan korupsi itu dinilai diskriminatif.

oleh Oscar Ferri diperbarui 25 Jul 2013, 11:52 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2013, 11:52 WIB
akil-mochtar130725b.jpg
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk diuji materi. Pengujian itu diajukan pengacara kondang Yusril Ihza Mahendera.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menilai PP yang mengatur soal pengetatan remisi bagi narapidana (napi), khususnya kasus narkoba, terorisme, dan korupsi itu 'pilih kasih'.

"Jelas diskriminatif," ujar Akil di Gedung MK, Jakarta, Kamis (25/7/2013).

Selain dari vonis hakim, menurut Akil, remisi merupakan hak napi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Khususnya dalam Pasal 14 ayat 1 huruf I, J, K, dan L.

Akil menerangkan, dalam UU itu dijelaskan, remisi adalah hak yang diberikan kepada napi yang sudah menjalankan dua pertiga masa hukuman dan berkelakuan baik. "Tidak disebutkan napi apa," kata dia.

"Hanya pengambil kebijakan saja yang memberi kualifikasi napi ini boleh, napi yang itu tidak boleh. Kalau itu konsepnya, salah," ucap Akil.

Akil menyadari, Pasal 14 ayat 2 UU Pemasyarakatan memang menyatakan, teknis pemberian remisi diatur melalui PP. Namun demikian, PP juga tetap tidak boleh menabrak ketentuan dalam UU.

Karena itu, jika pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM berniat membuat pengecualian pemberian remisi pada napi kasus tertentu, maka seharusnya dibuat UU baru. "Kalau tidak, harus merevisi UU yang ada," kata Akil. (Ary/Sss)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya