Pengamat: Politik Uang dan Manipulasi Suara Ancam Pemilu 2014

Politik uang dan manipulasi suara dari hasil penelitian berada di rangking pertama, yakni 34%.

oleh Liputan6 diperbarui 06 Nov 2013, 12:20 WIB
Diterbitkan 06 Nov 2013, 12:20 WIB
ilustrasi-pemilu130505b.jpg
Pengamat pemilu dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz mengatakan, politik uang dan manipulasi suara, merupakan pelanggaran paling mengkhawatirkan pada Pemilu 2014 mendatang.

"Masing-masing 34%, disusul keberpihakan penyelenggara Pemilu 14%, pengunaan fasilitas negara 10%, dan intimidasi 7%," kata Hafidz dalam siaran pers tertulisnya kepada Liputan6.com, Rabu (6/11/2013).

Hal tersebut, kata Hafidz, terungkap berdasarkan hasil penelitian JPPR terhadap persepsi masyarakat pemilih dalam pelaksanaan Pemilu 2014. Penelitian ini dilakukan di 5 provinsi yakni, Jakarta, Jawa Timur, NTT, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur, dengan 1.003 responden.

Hafidz memaparkan, salah satu pertanyaan penelitian adalah tindakan pelanggaran yang paling mempengaruhi hasil Pemilu. Hasilnya menunjukkan, dari 5 jawaban yang disediakan JPPR, politik uang dan manipulasi hasil suara paling dikhawatirkan masyarakat pemilih.

Bagi pemilih, kata Hafidz, politik uang adalah cara paling primitif dalam mempengaruhi pilihan rakyat. Sebab, politik uang tak ubahnya seperti racun yang menjadi pangkal rusaknya sistem seleksi kepemimpinan melalui pemilu ini.

"Persepsi pemilih ini sepatutnya menjadi peringatan bagi para caleg untuk berpikir ulang bagaimana menggunakan dana kampanyenya agar tidak salah sasaran," tutur Hafidz.

Dalam manipulasi hasil suara, Hafidz menjelaskan, masyarakat pemilih sangat khawatir hasil perolehan suara di Tempat Pemilihan Suara (TPS) dapat berubah di jenjang rekapitulasi berikutnya. "Diantara potensi perubahan itu diantaranya disebabkan karena data pemilih yang kurang akurat, karena data pemilih yang tidak akurat dapat disalahgunakan untuk praktik-praktik penggelembungan suara," jelasnya.

Menurutnya, praktik seperti ini mudah dilakukan dengan pelibatan penyelenggara pemilu dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) hingga ke atasnya, dimana 14% masyarakat pemilih mengkhawatirkannya. "Independensi penyelenggara menjadi kekhawatiran tersendiri, karena terdapat banyak bukti penyelewengan selama ini. Misalnya, dari fakta-fakta persidangan di MK, PTUN dan DKPP."

Ia menegaskan, sudah saatnya menjadikan Pemilu 2014 sebagai ajang seleksi kepemimpinan yang bersih. Pasalnya, kemenangan dengan cara yang bersih akan meningkatkan kepercayaan terhadap sistem pemilu dan demokrasi. (Rmn/Ism)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya