Survei: Ahli Tata Negara Menolak Perppu MK

Selain mengundang kontroversi, Perppu ini bukan jalan yang demokratis dalam mengatur sebuah negara.

oleh Oscar Ferri diperbarui 11 Nov 2013, 16:55 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2013, 16:55 WIB
mahkamah-konstitusi-131017c.jpg
Setara Institute melakukan survei kinerja Mahkamah Konstitusi (MK) selama 10 tahun terakhir. Khususnya pasca kasus dugaan suap dan pencucian uang yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar.

Salah satu temuan survei adalah terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang MK. Hasilnya, para ahli hukum tata negara mayoritas menolak Perppu yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.

"Para ahli tata negara tidak sependapat dengan jalan yang ditempuh Presiden menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2013," kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi dalam jumpa persnya di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2013).

Selain mengundang kontroversi, lanjut Hendardi, Perppu ini bukan jalan yang demokratis dalam mengatur sebuah negara. Hal ini terkait jelas dengan pengawasan MK oleh badan eksternal. Apakah dikembalikan pada Komisi Yudisial (KY) atau dengan formula yang berbeda tapi tetap pada kerangka kepatuhan MK.

"Sebanyak 71,8% responden menyetujui kewenangan pengawasan melekat pada KY. Tapi sebanyak 87,2% responden mendorong pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang MK dan Undang-Undang KY," kata dia.

Peneliti Setara Institute lainya, Ismail Hasani menambahkan, selain soal pengawasan yang diatur dalam Perppu, juga diatur terkait pola rekrutmen hakim MK. Terkait rekrutmen hakim MK ini, sebanyak 61,5% responden menilai tidak tepat, karena sifat MK yang yudikatif.

"Kecemasan responden bukan karena latar belakang hakim dari kalangan politisi. Tapi justru ada potensi abuse dari para hakim yang mengabdi pada institusi dan kepentingan dari mana mereka mencalonkan," ujar Ismail.

Ismail melanjutkan, sebanyak 89,7% responden mendorong penambahan kewenangan MK untuk memeriksa dan memutus perkara yang termasuk dalam kategori constitusional complaint.

Sementara untuk mengatasi perbedaan dalam mekanisme penanganan peraturan daerah yang diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi, lanjut Hendardi, 82,1% responden mendorong agar dilakukan integrasi pengujian undang-undang court of law atau satu badan pengadilan norma.

"Dengan demikian upaya menjaga konsistensi peraturan perundang-undangan dari jenjang yang paling rendah hingga yang paling tinggi dapat terjaga," tegas Hendardi.

Survei dilakukan pada 7-15 Oktober 2013. Survei kuantitatif ini menggunakan metode purposif dalam menetapkan sampel survei. Setara Institute memilih dan menetapkan secara cermat 200 ahli yang memiliki ciri-ciri spesifik dan karakteristik tertentu, sehingga relevan dengan struktur dan tujuan penelitian.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam survei ini adalah web-based survey. Para responden yang terpilih mengisi kuosioner di website Setara Institute sesuai dengan username dan password yang diberikan. Sehinggga keberulangan mengisi kuosioner dapat dihindari. (Rmn/Sss)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya