Liputan6.com, Jakarta - Di tengah berbagai tantangan global, laporan terbaru "World Happiness Report 2025" menunjukkan bahwa kebaikan masih menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat dunia.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Gallup, University of Oxford Wellbeing Research Centre, dan UN Sustainable Development Solutions Network, ditemukan bahwa 70 persen populasi global telah melakukan setidaknya satu tindakan baik dalam sebulan terakhir.
Baca Juga
Laporan ini membagi tindakan kebaikan menjadi tiga kategori utama: menyumbangkan uang, menjadi sukarelawan, dan membantu orang asing.
Advertisement
"Angka ini sangat tinggi," ujar Dr. Felix Cheung, salah satu penulis laporan dan asisten profesor psikologi di University of Toronto, seperti dikutip dari laman CNN, Minggu (23/3/2025).
"Kita seharusnya merasa senang mengetahui bahwa tujuh dari sepuluh orang di sekitar kita telah melakukan sesuatu yang baik dalam sebulan terakhir."
Meskipun tren kebaikan ini sedikit menurun dibandingkan lonjakan selama pandemi Covid-19, angka tersebut tetap lebih tinggi dibandingkan periode sebelum pandemi.
Dr. Lara Aknin, profesor psikologi sosial di Simon Fraser University, menambahkan bahwa tindakan kecil ini memiliki dampak besar, baik bagi penerima maupun pelakunya.
Tindakan Kecil, Dampak Besar
Ilana Ron-Levey dari Gallup mengungkapkan bahwa tindakan kemurahan hati—seperti berdonasi, menjadi sukarelawan, atau sekadar melakukan kebaikan kecil—memiliki dampak besar pada kebahagiaan seseorang.
"Berdasarkan data, tindakan kebaikan ini bahkan lebih berpengaruh terhadap kebahagiaan dibandingkan kenaikan gaji," katanya.
Studi yang dilakukan oleh Dr. Aknin membuktikan hal ini.
Dalam eksperimen di berbagai negara, termasuk Afrika Selatan, Uganda, dan India, peserta yang diberikan sejumlah uang dan diminta untuk membelanjakannya untuk orang lain cenderung melaporkan kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang membelanjakannya untuk diri sendiri.
Meskipun banyak orang melakukan kebaikan, penelitian menunjukkan bahwa ekspektasi terhadap kemurahan hati orang lain cenderung rendah.
Sebagai contoh, survei menanyakan kepada responden apakah mereka percaya dompet yang hilang akan dikembalikan jika ditemukan oleh orang lain. Di Amerika Serikat, hanya sepertiga dari responden yang percaya bahwa dompet mereka akan dikembalikan oleh orang asing. Namun, studi sebelumnya menunjukkan bahwa dua pertiga dompet yang hilang sebenarnya berhasil dikembalikan.
Fenomena ini disebut sebagai "empathy gap", di mana orang cenderung meremehkan kebaikan orang lain. Dr. Aknin menegaskan bahwa kesenjangan ini dapat berdampak negatif terhadap kebahagiaan.
"Jika kita selalu mengasumsikan hal terburuk dari orang lain, cara kita berinteraksi dengan dunia juga akan dipengaruhi oleh ketakutan dan kecemasan," jelasnya.
Advertisement
