Pembentukan Dewan Advokat Dinilai Ganggu Independensi Advokat

Dewan Advokat Nasional dinilai sebagai langkah mundur independensi hukum dan pengacara. Terlebih, DAN mendapatkan gaji dan fasilitas negara.

oleh Edward Panggabean diperbarui 17 Nov 2013, 14:52 WIB
Diterbitkan 17 Nov 2013, 14:52 WIB
undang-undang120922b.jpg
Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat yang diajukan DPR dinilai akan menghilangkan independensi hukum dan advokat yang diperjuangkan selama ini. Apalagi, menilik isi RUU itu, akan dibentuk Dewan Advokat Nasional (DAN).

"Kita mati-matian untuk mewujudkan kemandirian profesi advokat. Dengan adanya RUU ini, kalau disahkan, kita satu langkah mundur (setback), karena DAN itu dipilih oleh pemerintah," kata Advokat senior Trimoelja D Soerjadi di Jakarta, Minggu (15/11/2013).

Trimoelja yang juga mantan pengacara pembunuhan buruh Marsinah menuturkan RUU Advokat bisa melemahkan independensi profesi advokat karena pemilihan anggota DAN dilakukan oleh pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif).

"Pemerintah dalam hal ini adalah presiden. Calonnya diusulkan presiden ke DPR. Jadi, calonnya minimal ada 18 orang, nanti yang dipilih DPR 9 orang melalui fit and proper test. Masalahnya, ketika Presiden turun tangan, berarti di sini ada campur tangan eksekutif dan legislatif. Di sini kemandirian itu sudah hilang," jelas Trimoelja.

Terlebih, DAN yang terdiri dari 9 orang yang ditetapkan presiden nantinya mempunyai berbagai kewenangan. Di antaranya memeriksa dan mengadili berbagai pelanggaran etik advokat di tingkat banding majelis kehormatan.

"Jadi, dengan RUU ini di tingkat pertama ada majelis kehormatan dan ini bermasalah. Karena masing-masing organisasi punya majelis kehormatan sendiri-sendiri," cetusnya.

Ia menambahkan berbeda dengan saat ini yang memeriksa dan mengadili berbagai dugaan pelangaran etik advokat hanya Peradi. Sementara Ikadin dan lain-lain tidak mempunyai wewenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

"Kalau nanti tiap-tiap organisasi profesi advokat bisa memeriksa dan mengadili, standarnya berbeda-beda, kan repot. Saat masing-masing bisa memeriksa dan mengadili, menurut saya ini satu kemunduran," imbuh Trimoelja.

Apalagi, masing-masing organisasi bisa memeriksa dan mengadili, karena RUU ini memberikan peluang kepada sejumlah organisasi profesi membentuk dewan kehormatan.

"Setelah perkara diputus di tingkat dewan kehormatan masing-masing profesi dan masih mengajukan upaya hukum, maka perkara itu diajukan ke tingkat banding DAN," papar dia.

Ia pun mempertanyakan mengenai kode etiknya lantaran setiap organisasi profesi advokat tidak seragam. Belum lagi, anggarannya menggunakan uang negara, apalagi kalau DAN ini mendapat remunerasi dari pemerintah.

"Berarti itu digaji, walaupun itu honorarium atau apa pun namanya, bahwa kita itu sudah tidak mandiri," tutur Trimoelja.

Pengacara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus Cicak vs Buaya ini menambahkan RUU Advokat ini juga memberikan kelonggaran bagi siapapun menjadi advokat. Pasalnya, RUU ini menyatakan, 35 orang bisa membentuk organisasi profesi advokat.

"Kalau di Peradi, pelatihan dilakukan di manapun, tapi ujian untuk menjadi advokat hanya dilakukan Peradi. Itu dilakukan badan independen, sehingga tidak ada KKN. Semua hancur dengan RUU ini," tegasnya.

Ia mensinyalir RUU ini merupakan upaya memecah-belah organisasi profesi advokat seperti yang dilakukan era Presiden Soeharto, agar semua organisasi apa pun tidak bisa mandiri. Pasalnya, jika sebuah organisasi itu mandiri, pemerintah atau rezim akan sulit mengendalikannya demi kepentingan tertentu.

"Sekarang saya lihat ke depan, bahayanya, jangan-jangan tujuan jangka panjang ke depan ada agenda tersembunyi agar organisasi advokat ini tidak mandiri dan bisa dikendalikan pemerintah," tukas Trimoelja. (Adi/Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya