Perjuangan Jamali, pria asal Pasaman menempuh perjalanan selama 5 jam ke Rumah Sakit Muhammad Djamil di Padang, Sumatera Barat sia-sia. Tak ada dokter yang mau mengobati penyakit kankernya hari ini. Ratusan dokter mogok dan berdemo di halaman rumah sakit. Dokter tidak melayaninya untuk melanjutan pengobatan hari ini.
Didampingi istri tercinta, Jamali datang ke Rumah Sakit Muhammad Djamil, Padang, Sumatera Barat. Padahal, dia sudah membuat janji dengan seorang dokter yang selama ini mengobati kanker yang ia derita. Dia pulang tanpa hasil.
Harapan para pasien di RSUD Tasikmalaya, Jawa Barat untuk bisa berobat hari ini pun pupus. Meski sudah menunggu sejak pagi, namun bukan panggilan pemeriksaan yang mereka dapat. Para pasien yang kebanyakan orang lanjut usia dan anak-anak ini pun terpaksa pulang dengan penuh kekecewaan.
Baca Juga
Sia-sia ia datang ke rumah sakit karena yang ditemui justru ratusan dokter yang sedang berdemontrasi. Unik yang menderita tumor ditelantarkan hingga 3 jam lebih.
Advertisement
Hal yang sama juga terlihat di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan, Sumatera Utara. Rumah sakit milik pemerintah itu lumpuh akibat aksi mogok para dokter pendukung dr Ayu. Ratusan pasien terlantar karena tidak ada dokter yang praktik. Bahkan, mereka harus pulang dengan tangan hampa setelah menunggu beberapa jam.
"Bagaimana kita mau dapat obat, dokter tidak ada. Kita mau berobat jantung ini. Sama siapa mau minta obat?" kata Asni Siregar dengan wajah gusar, Rabu (27/11/2013).
Sementara di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sampang, Madura, 9 dokter spesialis yang bertugas memilih libur. Sebagai solusi, pihak rumah sakit menggantinya dengan dokter umum. Namun pelayanan kesehatan baru dilakukan pada siang hari.
Dokter Diingatkan Sumpah Hipokrates
Ketua Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning menilai, demo dokter sebagai aksi solidaritas penahanan dr Ayu itu boleh-boleh saja. Asal, jangan sampai melupakan 'Sumpah Hipokrates' yang berisi mengutamakan melayani kemanusiaan.
 "Solidaritas boleh. Anak saya yang berprofesi dokter juga ikut kok, tapi Sumpah Hipokratesnya dipakai, mengutamakan kemanusiaan," ujar Ribka Tjiptaning di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (27/11/2013).
Sumpah Hipokrates adalah sumpah yang secara tradisional dilakukan oleh para dokter, tentang etika yang harus mereka lakukan dalam melakukan praktik profesinya.
Salah satu bunyi sumpah itu adalah "Saya akan menaati sisÂtem prosedur kesehatan yang sesuai dengan kemamÂpuan dan penilaian saya, saya akan memÂperÂhatikan kepenÂtingan pasien saya, dan tidak akan melakukan hal-hal yang memÂbahayakan baik secara langÂsung maupun tidak langsung."
Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan juga sempat mengimbau dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) tidak menggelar aksi mogok. Hal ini lantaran aksi mogok dokter bertentangan dengan kemanusiaan serta berakibat pada penelantaran pasien.
Sementara itu, dokter yang berdemo menyatakan tidak menghentikan total pelayanan rumah sakit. Dokter-dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi, Jawa Barat menunda pelayanan selama 1 jam.
"Kami tidak menghentikan secara total layanan kepada masyarakat, hanya sekadar menunda waktu buka pelayanan poliklinik dari semula pukul 09.00 WIB, jadi baru aktif lagi pukul 10.00 WIB," kata Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Bekasi, Anthony D Tulak di RSUD Kota Bekasi, Jawa Barat.
Dokter senior IDI Kepri Amir Hakim Siregar juga mengatakan, pihaknya memohon maaf kepada masyarakat karena harus mogok. Meski seluruh dokter di Kepri sepakat mogok selama 1 hari, pasien kategori gawat darurat tetap akan dilayani pada seluruh rumah sakit.
"Kami mogok agar aksi dokter untuk menyembuhkan pasien dilindungi dan tidak diintimidasi, bukan justru disalahkan seperti kondisi 3 rekan kami," ujar Amir.
Ya, hanya pasien yang dalam kondisi gawat saja yang akan ditangani selama aksi mogok ini. Sementara, untuk para pasien yang kondisinya tidak mengkhawatirkan, untuk sementara tidak akan dilayani.
"Kalau yang ringan, yang sifatnya bisa ditunda, ya tidak dilayani. Kami minta maaf kepada masyarakat karena untuk aksi solidaritas ini," kata Gusti Ngurah yang bertugas di Rumah Sakit Budi Asih, Jakarta Timur, ini.
Upaya Peninjauan Kembali dr Ayu Cs
Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan 10 bulan penjara kepada dr Dewa Ayu Sasiary, dr Hendry Simanjuntak, dan dr Hendy Siagian. Ketiganya dianggap melakukan kelalaian saat menangani pasien bernama Siska Makatey di Rumah Sakit Profesor Dr R D Kandou Malalayang, Kota Manado, Sulawesi Utara, pada 10 April 2010.
Dokter Ayu dan Hendry Simanjuntak telah ditahan di Rutan Manado, sementara dr Hendy masih buron.
Dalam putusan yang dibacakan pada 18 September 2012, Majelis Kasasi yang terdiri dari Artidjo Alkostar, Sofyan Sitompul, dan Dudu D Macmudin menyatakan, ke-3 dokter itu dianggap tidak menyampaikan kepada keluarga pasien tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap Julia Fransiska Makatey.
[Baca: Dosa-dosa` Dokter Ayu, Dokter Hendry & Dokter Hendy di Mata MA]
Ketiganya kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) atas vonis yang terbukti melakukan lalai dan menyebabkan kematian pasien.
"Pihak terdakwa telah ajukan upaya hukum luar biasa, yaitu peninjauan kembali," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di kantornya, Jakarta, Rabu (27/11/2013).
Menurut Ridwan pengajuan permohonan PK itu didaftarkan pada Agustus 2013 lalu dengan Nomor Registrasi 79 PK/PID/ 2013. MA juga telah menunjuk anggota majelis PK untuk menangani perkara ini.
Ibunda Siska Makatey Masih Sering MenangisSiska, sebutan Julia Fransiska Makatey adalah seorang perawat di Wasior, Papua. Ia memang berkeinginan melahirkan di Manado, karena orangtuanya tinggal di sana.
"Almarhumah itu sosok perempuan yang patuh dan sayang orangtua. Selain itu, ia juga ulet dan pekerja keras. Untuk mencari tambahan uang buat kuliahnya dulu, ia rela mengojek. Kebetulan orangtuanya punya usaha sewaan sound system," kata pendamping keluarga korban sekaligus Ketua Komisi Daerah Perlindungan Anak Sulawesi Utara, Jull Takaliuang saat dihubungi Liputan6.com, Senin 25 November 2013.
Sementara itu, Yulin Mahengkeng, ibunda Siska tak kuasa menahan tangis setiap kali teringat detik-detik saat anaknya 3 tahun lalu berjuang melahirkan. Operasi caesar di RS Kandou, Manado, kala itu tak berjalan lancar.Keluarga bersikeras mereka tidak pernah memberi persetujuan untuk melakukan operasi. Yulin menegaskan, tidak pernah memberi persetujuan pada dr Ayu dan rekan-rekannya untuk melakukan operasi caesar pada anaknya di RS Profesor Kandou, Manado.
Namun ia mengakui menerima sebuah surat dari seorang dokter dan menandatanganinya tanpa melihat isi surat tersebut dengan harapan anaknya bisa segera diselamatkan.
Keluarga korban pun memandang aksi demo dokter menunjukkan sikap arogansi. Namun demikian keluarga korban malapraktik berharap, kasus ini cepat terselesaikan dan mendapatkan solusi terbaik untuk kedua belah pihak baik dari keluarga dan pihak kedokteran. (Mvi)