Penelitian: Diskriminasi dalam Bentuk Apapun Bisa Berdampak ke Kesehatan Mental

Mereka yang sering menghadapi diskriminasi, 25 persen terdiagnosis memiliki kesehatan mental yang terganggu.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Nov 2021, 00:10 WIB
Diterbitkan 14 Nov 2021, 00:10 WIB
Kesehatan mental
Ilustrasi kesehatan mental (Foto: Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Orang dewasa yang masih berusia muda mungkin sering merasakan diskriminasi. Baik tentang tubuh, ras, usia, atau jenis kelamin. Ternyata hal tersebut bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang.

Menurut penelitian baru, menghadapi diskriminasi, terutama rasisme, itu bisa berefek negatif pada kesejahteraan seseorang. Misalnya menyebabkan tingkat stres yang lebih tinggi, fungsi kognitif yang buruk, kecemasan, depresi, hingga penggunaan narkoba.

Dikutip dari CNN, Sabtu (13/11/2021), mereka yang sering menghadapi diskriminasi, 25 persen terdiagnosis memiliki kesehatan mental yang terganggu.

Bahkan kemungkinan mengalami tekanan psikologis dua kali lebih parah dibanding orang yang tidak atau jarang mengalami diskriminasi. Itu menurut penelitian dalam jurnal Pediatrics.

Para penulis menganalisis data dari 1.834 peserta di Amerika selama kurang lebih satu dekade. Peserta tersebut termasuk yang sudah melaporkan tentang kesehatan mental dan perilaku diskriminasi sejak berusia 18 hingga 28 tahun pada 2017.

Dalam penelitian tersebut, diskriminasi mengacu pada interpersonal yang dirasakan. Itu didefinisikan sebagai perilaku anggota individu dari satu kelompok yang berdampak bahaya pada anggota lain.

Hal tersebut berbeda dengan diskriminasi institusional dan struktural yang dapat mempengaruhi dan memperkuat diskriminasi antarindividu.

Para peserta kemudian menjawab pertanyaan terkait seberapa sering mereka diperlakukan kurang sopan, mendapat layanan buruk, atau diperlakukan seolah-olah sebagai orang bodoh, menakutkan, tidak jujur, atau rendah diri.

Akhirnya penulis menemukan ada sekitar 93 persen peserta yang mengatakan, mereka telah mengalami diskriminasi beberapa kali selama periode studi 10 tahun. Itu termasuk 91-94 persen dari setiap kategori orang dewasa dari berbagai kalangan.

Dalam penelitian tersebut, ageisme adalah diskriminasi tertinggi berdasarkan laporan. Disusul diskriminasi penampilan fisik, seksisme, dan rasisme.

“Dengan 75 persen dari semua gangguan kesehatan mental seumur hidup yang muncul pada saat usia 24 tahun, transisi ke masa dewasa adalah waktu yang penting untuk mencegah masalah kesehatan mental dan perilaku,” kata penulis studi sekaligus mahasiswa kedokteran Universitas of California Yvonne Lei.

Sementara itu menurut klinis psikolog yang tidak terlibat dalam penelitian John Duffy mengatakan, “Semakin banyak orang muda yang terdiskriminasi, semakin besar pula kemungkinan mereka mengalami kesulitan emosional termasuk depresi, kecemasan, memiliki masalah harga diri dan bahkan memiliki ide bunuh diri.”

Duffy melanjutkan, “Saya juga menemukan penggunaan narkoba cenderung meningkat karena diskriminasi yang dialami."

 

Bagaimana diskriminasi dapat berdampak terhadap kesehatan mental?

Ilustrasi diskriminasi. (dok. Andreea Popa/Unsplash/Adhita Diansyavira)
Ilustrasi diskriminasi. (dok. Andreea Popa/Unsplash/Adhita Diansyavira)

Menurut penelitian, mendapat perlakuan buruk bisa menimbulkan perasaan stres yang selanjutnya mempengaruhi kesehatan. Itu mungkin sering dirasakan sebagian orang.

Misalnya wanita berkulit hitam yang menjadi peserta studi pada 2020, mereka sering mengalami rasisme. Di dalamnya termasuk penghinaan rasial atau stereotip yang memiliki 2,75 kali risiko fungsi kognitif subjektif yang buruk daripada wanita yang menghadapi lebih sedikit rasisme.

Perlu diketahui, fungsi kognitif ini merupakan kapasitas mental seseorang untuk belajar, berpikir, manalar, memecahkan masalah, membuat keputusan, mengingat, hingga memperhatikan.

Asisten profesor pediatri d UCLA’s Geffen School of Medicine Adam Schickedanz menjelaskan, “Asosiasi yang kami temukan kemungkinan juga terkait dengan kesenjangan layanan perawatan kesehatan mental – termasuk ketidakadilan dalam akses perawatan, biar penyedia dan diskriminasi struktural dan institusional dalam perawatan kesehatan – yang mengarah pada ketidakadilan dalam diagnosis, pengobatan, dan hasil.”

Banyak orang yang merasakan ketidaknyamanan dari adanya diskriminasi ini. Baik diskriminasi jenis kelamin, ras, usia, atau penampilan, kata Duffy.

Padahal, kata Duffy, itu semua memiliki satu kesamaan. Hal-hal tersebut tentu di luar kendali manusia sehingga tidak dapat diubah.

Biasanya diskriminasi terkait usia, orang dewasa antara usia 25 hingga 28 tahun mungkin sering menerima hal-hal yang membuatnya merasa lebih tua. Apalagi ketika masih berkarier. Mungkin mereka merasa sudah terlalu tua dan belum mencapai tujuan karier. “Diskriminasi ke arah ini mengurangi rasa harapan mereka untuk masa depan,” ujarnya.

Selain contoh tersebut, masih banyak bentuk diskriminasi lainnya.

Jika mendapat perlakuan buruk seperti itu, kata Kearney-Cooke, fokuslah pada kekuatan dan pilihan yang bisa membuat diri sendiri merasa nyaman.

“Jangan biarkan orang membuat Anda merasa tidak nyaman atau seolah-olah tidak cukup baik. Saya mendukung untuk tidak berkumpul dengan orang seperti itu. Terkadang kita tidak dapat mengontrol keluarga atau pekerjaan, tetapi benar-benar pikirkan dengan siapa Anda berada di lingkungan tersebut,” jelasnya.

 Reporter: Aprilia Wahyu Melati

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya