Liputan6.com, Jakarta Ketertarikan masyarakat terhadap perusahaan berbasis Environment, Social, and Governance (ESG) semakin meningkat. Menurut survei EY Future Consumer Index pada Februari 2022, responden cenderung melakukan pembelian yang lebih berkelanjutan (sustainable), termasuk di Indonesia. Pelanggan di Indonesia memperhatikan dampak yang dihasilkan dari pembelian mereka, dengan 72% responden memperhatikan dampak lingkungan dan 68% responden memperhatikan dampak sosial.
Menyikapi tren tersebut sejak awal, Bank DBS Indonesia, yang telah bergabung dengan United Nation Net-Zero Banking Alliance (UNEPFI), kini berupaya menyelaraskan portofolio kredit dan investasi untuk mencapai emisi nol bersih (net zero) pada tahun 2050. Dengan menghadirkan rekening Green Savings sejak setahun lalu, nasabah telah berkontribusi melalui penyisihan langsung sebagian bunga tabungan, dan Bank DBS Indonesia menyalurkan donasi tersebut kepada mitra wirausaha sosial terpilih.
Consumer Banking Director, PT Bank DBS Indonesia Rudy Tandjung memberikan pernyataan sesuai dengan insight tersebut, “Dalam mewujudkan visi kami sebagai ‘Best Bank for A Better World’, dan komitmen ‘More like a sustainability partner, less like a bank’, Bank DBS Indonesia memiliki tiga pilar keberlanjutan (sustainability pillars) yakni Responsible Banking, Responsible Business Practice, dan Impact Beyond Banking. Rekening Green Savings.
Pada kesempatan yang sama, Head of Segmentation, Liabilities and Mortgage, PT Bank DBS Indonesia Natalina Syabana mengatakan, “Sebagai purpose-driven bank atau bank yang digerakkan oleh tujuan positif, Bank DBS Indonesia secara berkelanjutan menyalurkan kontribusi nasabah Green Savings melalui pada mitra wirausaha sosial terpilih.
Bank DBS Indonesia memiliki mitra wirausaha sosial terpilih krakakoa yang memiliki visi memajukan perkebunan kakao. Indonesia sebagai produsen cokelat ketujuh terbesar di dunia, kini dihadapkan pada masalah seperti kurangnya generasi baru petani kakao, usia pohon kakao yang sudah tua sehingga kualitas kakao menurun, serta minimnya pengetahuan petani kakao dan teknologi untuk menghasilkan cokelat yang berkualitas. Dengan inisiatif dan dukungan ini, diharapkan Indonesia dapat kembali menjadi tiga besar produsen cokelat di dunia.